Kamis, 30 Mei 2013
Makalah
Hukum
Di
Susun Oleh:
Nama : Hernanda Bani Permana
NPM : 18211984
Kelas : 2EA27
Dosen : Sri Waluyo
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur saya
panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan limpahan
rahmatnyalah maka saya boleh menyelesaikan sebuah karya tulis dengan tepat
waktu.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "HUKUM", yang mmenurut saya dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari sejarah hukum.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat atau menyinggu perasaan pembaca.
Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "HUKUM", yang mmenurut saya dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari sejarah hukum.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat atau menyinggu perasaan pembaca.
Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.
Bekasi 23,05,2013
Hernanda Bani P
I.I PENDAHULUAN
Ketika bicara hukum di Indonesia, barangkali masyarakat sudah bosan dan lelah menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini. Sudah banyak issue-issue miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa maupun hakim. Sudah banyak tuduhan-tuduhan yang telah disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tentang banyaknya para koruptor penjarah uang rakyat milyaran dan bahkan triyulnan rupiah dibebaskan oleh pengadilan. Dan kalaupun dihukum hanya sebanding dengan hukuman pencuri ayam. Dengan mata telanjang dapat disaksikan bahwa orang miskin akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang berduit akan begitu mudah mendapatkan keadilan. Bukan rahasia lagi, bahwa dalam proses peradilan perkara pidana bila ingin mendapat keringanan atau bahkan bebas dari jeratan hukum harus menyediakan uang, begitu juga para pihak dalam perkara perdata, bila ingin memenangkan perkara maka harus menyediakan sejumlah uang. Dengan kata lain bahwa putusan pengadilan dapat dibeli dengan uang, karena yang menjadi parameter untuk keringanan hukuman dalam perkara pidana dan menang kalahnya dalam perkara perdata lebih kepada pertimbangan berapa jumlah uang untuk itu daripada pertimbangan hukum yang bersandar pada keadilan dan kebenaran.
Dalam situasi yang serba extra ordinary dimana bangsa dan negara kita ini sulit untuk keluar dari tekanan krisis di segala bidang kehidupan tidak tertutup kemungkinan bangsa Indonesia akan tambah terperosok ke jurang nestapa yang semakin dalam dan menyeramkan, maka situasi mencekam seperti ini tidak ayal hukum menjadi institusi yang banyak menuai kritik karena dianggap tidak becus untuk memberikan jawaban yang prospektif. Pasca tumbangnya pemerintahan otoriter tahun 1998, hamper setiap saat dibumi pertiwi ini lahir peraturan perundang-undangan untuk mengatur dan menjawab problematika kehidupan di Negara ini, sehingga keberadaan bangka kita ini dalam kondisi hiperregulated society. Namun, dengan segudang peraturan perundang-undangan, baik menyangkut bidang kelembagaan maupun sisi kegidupan manusia Indonesia, keteraturan (order) tidak kunjung datang. Malahan hukum kita tampak kewelahan, yang akibatnya dengan seabrek peraturan perundang-undangan itu dalam ranah penegakan hukum justru malah menerbitkan persoalan-persoalan baru ketimbang menuntaskannya. Hal ini menurut Satjipto Rahardjo, komunitas hukum dianggap sebagai komunitas yang sangat lamban dalam menangkap momentum.
Sejak tumbangnya pemerintahan otoriter 1998 yang selanjutnya disebut sebagai era reformasi, sebenarnya merupakan momentum paling penting dan strategis dari segi kehidupan social dan hukum, namun kondisi ini tidak mampu menggerakkan untuk mengambil manfaat dalam ranah perbaikan. Institusi yang dijadikan tumpuan pembebasan dan pencerahan, justru menjadi sarang troble maker bangsa. Dampaknya kehidupan hukum menjadi tidak terarah dan terpuruk. Dalam situasi keterpurukan hukum seperti ini, maka apapun uapya pembenahan dan perbaikan dibidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya niscaya merupakan suatu yang musykil dilakukan (mission impossible) . Hal ini apabila dicermati , minimal terdapat dua faktor utama. Pertama, perilaku penegak hukum (professional jurist) yang koruptif dan yang kedua, pola pikir para penegak hukum Indonesia sebagian besar masih terkungkung dalam pikiran legalistic-positivistik, meskipun system kelembagaan hukum telah ditabuh ke arah perubahan-perubahan namun paradigma para penegak hukum masih berpola lama (orde baru).
Bahwa dalam harian Kompas tanggal 31 Mei tahun 2002, halaman 27 ditulis, panggung peradilan Indonesia…., dikepung oleh pelbagai hal yang sangat rawan dengan urusan KKN…, dan hedoisme…, uang yang bersileweran-pun bukan alang kepalang jumlahnya. Dalam harian yang sama pada halaman 4 seorang Denny Indrayana mengatakan “sebenarnya persoalan perilaku jurist itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Namun yang berlangsung di Indonesia sungguh sudah keterlaluan.
Selanjutnya ketika dikaji dari sisi penegakan hukum yang legal-positivistik, menurut Anis Ibrahim, rasanya kita sudah lebih dari cukup memiliki peraturan hukum yang dapat digunakan sebagai garansi kepastian dan keadilan bagi mereka yang sedang berurusan dengan hukum, Namun, sungguh sangat sulit mendapatkan data yang menggembirakan tentang keadilan yang muncul dari hukum. Misalnya, Indonesia telah menyatakan korupsi merupakan extra ordinary, dan karenanya dinyatakan Negara Indonesia berada dalam keadaan darurat korupsi. Hal ini, melahirkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU nomor 20/2001 yang mengubah UU Nomor 31/1999). Dan karena Kejaksaan dan Kepolisian dianggap tidak mampu menangani korupsi kelas kakap, maka lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan luar biasa untuk melakukan pemberantasan korupsi. Namun pemberantasan korupsi yang dilakukan hanya sebatas popularitas, asal sikat dan sering salah sasaran. Hal ini terbutki, koruptor kelas kakap yang menjarah BLBI trilyunan rupiah nyaris belum tersentuh. Ironisnya menurut Anis Ibrahim, seandainya ada yang dibawa ke pengadilan terdapat dua kemungkinan putusan, jika tidak dibebaskan dengan dalih kekurangan alat bukti, bisa jadi vonisnya tidak jauh dari putusan penjahat sekelas preman jalanan.
Ketika bicara hukum di Indonesia, barangkali masyarakat sudah bosan dan lelah menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini. Sudah banyak issue-issue miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa maupun hakim. Sudah banyak tuduhan-tuduhan yang telah disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tentang banyaknya para koruptor penjarah uang rakyat milyaran dan bahkan triyulnan rupiah dibebaskan oleh pengadilan. Dan kalaupun dihukum hanya sebanding dengan hukuman pencuri ayam. Dengan mata telanjang dapat disaksikan bahwa orang miskin akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang berduit akan begitu mudah mendapatkan keadilan. Bukan rahasia lagi, bahwa dalam proses peradilan perkara pidana bila ingin mendapat keringanan atau bahkan bebas dari jeratan hukum harus menyediakan uang, begitu juga para pihak dalam perkara perdata, bila ingin memenangkan perkara maka harus menyediakan sejumlah uang. Dengan kata lain bahwa putusan pengadilan dapat dibeli dengan uang, karena yang menjadi parameter untuk keringanan hukuman dalam perkara pidana dan menang kalahnya dalam perkara perdata lebih kepada pertimbangan berapa jumlah uang untuk itu daripada pertimbangan hukum yang bersandar pada keadilan dan kebenaran.
Dalam situasi yang serba extra ordinary dimana bangsa dan negara kita ini sulit untuk keluar dari tekanan krisis di segala bidang kehidupan tidak tertutup kemungkinan bangsa Indonesia akan tambah terperosok ke jurang nestapa yang semakin dalam dan menyeramkan, maka situasi mencekam seperti ini tidak ayal hukum menjadi institusi yang banyak menuai kritik karena dianggap tidak becus untuk memberikan jawaban yang prospektif. Pasca tumbangnya pemerintahan otoriter tahun 1998, hamper setiap saat dibumi pertiwi ini lahir peraturan perundang-undangan untuk mengatur dan menjawab problematika kehidupan di Negara ini, sehingga keberadaan bangka kita ini dalam kondisi hiperregulated society. Namun, dengan segudang peraturan perundang-undangan, baik menyangkut bidang kelembagaan maupun sisi kegidupan manusia Indonesia, keteraturan (order) tidak kunjung datang. Malahan hukum kita tampak kewelahan, yang akibatnya dengan seabrek peraturan perundang-undangan itu dalam ranah penegakan hukum justru malah menerbitkan persoalan-persoalan baru ketimbang menuntaskannya. Hal ini menurut Satjipto Rahardjo, komunitas hukum dianggap sebagai komunitas yang sangat lamban dalam menangkap momentum.
Sejak tumbangnya pemerintahan otoriter 1998 yang selanjutnya disebut sebagai era reformasi, sebenarnya merupakan momentum paling penting dan strategis dari segi kehidupan social dan hukum, namun kondisi ini tidak mampu menggerakkan untuk mengambil manfaat dalam ranah perbaikan. Institusi yang dijadikan tumpuan pembebasan dan pencerahan, justru menjadi sarang troble maker bangsa. Dampaknya kehidupan hukum menjadi tidak terarah dan terpuruk. Dalam situasi keterpurukan hukum seperti ini, maka apapun uapya pembenahan dan perbaikan dibidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya niscaya merupakan suatu yang musykil dilakukan (mission impossible) . Hal ini apabila dicermati , minimal terdapat dua faktor utama. Pertama, perilaku penegak hukum (professional jurist) yang koruptif dan yang kedua, pola pikir para penegak hukum Indonesia sebagian besar masih terkungkung dalam pikiran legalistic-positivistik, meskipun system kelembagaan hukum telah ditabuh ke arah perubahan-perubahan namun paradigma para penegak hukum masih berpola lama (orde baru).
Bahwa dalam harian Kompas tanggal 31 Mei tahun 2002, halaman 27 ditulis, panggung peradilan Indonesia…., dikepung oleh pelbagai hal yang sangat rawan dengan urusan KKN…, dan hedoisme…, uang yang bersileweran-pun bukan alang kepalang jumlahnya. Dalam harian yang sama pada halaman 4 seorang Denny Indrayana mengatakan “sebenarnya persoalan perilaku jurist itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Namun yang berlangsung di Indonesia sungguh sudah keterlaluan.
Selanjutnya ketika dikaji dari sisi penegakan hukum yang legal-positivistik, menurut Anis Ibrahim, rasanya kita sudah lebih dari cukup memiliki peraturan hukum yang dapat digunakan sebagai garansi kepastian dan keadilan bagi mereka yang sedang berurusan dengan hukum, Namun, sungguh sangat sulit mendapatkan data yang menggembirakan tentang keadilan yang muncul dari hukum. Misalnya, Indonesia telah menyatakan korupsi merupakan extra ordinary, dan karenanya dinyatakan Negara Indonesia berada dalam keadaan darurat korupsi. Hal ini, melahirkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU nomor 20/2001 yang mengubah UU Nomor 31/1999). Dan karena Kejaksaan dan Kepolisian dianggap tidak mampu menangani korupsi kelas kakap, maka lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan luar biasa untuk melakukan pemberantasan korupsi. Namun pemberantasan korupsi yang dilakukan hanya sebatas popularitas, asal sikat dan sering salah sasaran. Hal ini terbutki, koruptor kelas kakap yang menjarah BLBI trilyunan rupiah nyaris belum tersentuh. Ironisnya menurut Anis Ibrahim, seandainya ada yang dibawa ke pengadilan terdapat dua kemungkinan putusan, jika tidak dibebaskan dengan dalih kekurangan alat bukti, bisa jadi vonisnya tidak jauh dari putusan penjahat sekelas preman jalanan.
I.II PERMASALAHAN
Dari latar pemikiran sebagaimana diuraikan dalam pendahuluan maka pertanyaanya adalah “bagaimana cara keluar dari keterpurukan hukum di Indonesia ini”?
I.III PEMBAHASAN
Menurut Satjipto rahardjo, sejak hukum modern semakin bertumpu pada dimensi bentuk yang menjadikannya formal dan procedural, maka sejak itu pula muncul perbedaan antara keadilan formal atau keadilan menurut hukum disatu pihak dan keadilan sejati atau keadilan substansial di pihak lain. Dengan adanya dua macam dimensi keadilan tersebut, maka kita dapat melihat bahwa dalam praktiknya hukum itu ternyata dapat digunakan untuk menyimpangi keadilan subsatansial. Penggunaan hukum yang demikian itu tidak berarti melakukan pelanggaran hukum, melainkan semata-mata menunjukkan bahwa hukum itu dapat digunakan untuk tujuan lain selain mencapai keadilan.
Dijelaskan oleh Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH., progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia dasarnya adalah baik, memiliki kasih saying serta kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting bagi membangun kehidupan berhukum dalam masyarakat. Namun apabila dramaturgi hukum menjadi buruk seperti selam ini terjadi di Negara kita, yang menjadi sasaran adalah para aparat penegak hukumnya, yakni polisi, jaksa, hakim dan advokat. Meskipun, apabila kita berfikir jernih dan berkesinambungan, tidak sepenuhnya mereka dipersalahkan dan didudukan sebagai satu-satunya terdakwa atas rusaknya wibawa hukum di Indonesia.
Memang sangat menyedihkan hati, ketika melihat kondisi hukum di Indonesia dengan segala bentuk praktisnya. Penggunaan hukum yang serba formal-prosedural dan teknikal , pada dasarnya telah banyak melupakan sisi kebenaran materiil, keadilan substansial dan kemanusiaan. Praktis-praktis hukum yang diterapkan dinegara kita, hingga kini belum mampu memberi garansi untuk mencapai harkat kemanusiaan yang berkeyakinan, kebenaran materiil dan keadilan substansial. Kepedulian terhadap hukum yang menjanjikan kebenaran, kemanusian dan keadilan menurut Satjito Raharjo, baru dapat dicapai jika kita mau keluar dari tawan-tawanan undang-undang yang serba formal procedural. Manakala menginginkan dan mempercayai hukum beserta praktiknya masih dapat dijadikan media pencerah bangsa, maka harus berani mencari agenda alternative yang sifatnya progresif.
Berfikir secara progresif, menurut Satjipto Raharjo berarti harus berani keluar dari mainstream pemikiran absolutisme hukum, kemudianmenempatkan hukum dalam posisi yang relative. Dalam hal ini, hukum harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusian. Bekerja berdasarkan pola pikir yang determinan hukum memang per;uj. Namun itu bukanlah suatu yang mutlak dilakukan manakala para ahli hukum berhadapan dengan suatu masalah yang jika menggunakan logika hukum modern akan menciderai posisi kemanusiaan dan kebenaran. Bekerja berdasarkan pola pikir hukum yang progresif (paradigma hukum progresif), barang tentu berbeda dengan paradigma hukum positivistis-praktis yang selama ini diajarkan di perguruan tinggi. Paradigma hukum progresif melihat faktor utama dalam hukum adalah manusua itu sendiri. Sebaliknya paradigma hukum peositivistis meyakini kebenaran hukum di atas manusia. Manusia boleh dimarjinalkan asal hukum tetap tegak. Sebaliknya paradigma hukum progresif berfikir bahwa justru hukum bolehlah dimarjinalkan untuk mencdukung eksistensialitas kemanusian, kebenaran dan keadilan.
Agenda utama paradigma hukum progresif adalah menempatkan manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan tentang hukum. Penerimaan faktor manusia di pusat pembicaraan hukum tersebut membawa kita untuk mempedulikan faktor perilaku (behavior, experience) manusia. Dalam bahasa Oliver W. Holmes, logika peraturan disempurnakan dengan logika pengalaman. Jika dalam filosofi paradigma hukum praktis posisi manusia adalah untuk hukum dan logika hukum, sehingga manusia dipaksa untuk dimasukkan ke dalam hukum, maka sebaliknya filosofi dalam paradigma hukum progresif adalah hukum untuk manusia. Apabila faktor kemanusiaan yang ada didalammnyua termasuk juga kebenaran dan keadilan telah enjadi titik pembahasan hukum, maka faktor etika dan moralitas dengan sendirinya akan ikut tersert masuk ke dalamnya. Membicarakan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan tidak bisa dilepaskan dari membicarakan etika dan moralitas. Jadi, dengan tegas paradigma hukum progresif menolak pendapat yang memisahkan hukum dari faktor kemanusiaan dan moralitas. Disinilah letak pembebasan dan pencerahan yang dilakukan oleh paradigma hukum progresif.
Hukum progresif mengingatkan, bahwa dinamika hukum tidak kunjung berhenti, oleh karena hukum terus menerus berada pada status membangun diri, dengan demikian terjadinya perubahan social dengan didukung oleh social engineering by law yang terencana akan mewujudkan apa yang menjadi tujuan hukum progresif yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Untuk itu, perlu mendapatkan kehidupan hukum yang berada. Dalam hal ini, menurut Prof. Dr. Muladi, SH., dibutuhkan predisposisi sebagai berikut :
1. menegakkan Rule of Law. Untuk menegakkan Rule of Law, ada empat hal yang harus dipenuhi yaitu : Government is under the law, adanya independence of yurisdiction, access to the counrt of law dan general acqual in certain application and same meaning .
2. Kedua; Democracy, prinsip-prinsip dasar demokrasi yaitu ; constitutional, chek and balance, freedom of media, judicial independence of precident, control to civil to military, protection to minoritary.
Kedua hal ini, adalah menjadi bagian dari prinsip-prinsip dari hukum progresif, dimana hukum bukan sebagai raja, tetapi alat untuk menjabarkan kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia, hukum bukan sebagai tehnologi yang tak bernurani melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusian. Pembahsan hukum tidak menyumbat pintu bagi issue manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu masalah manudia dan kemanusiaan akan terus menyertai dan ikut mengalir mnemasuki hukum. Maka hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk mengabdi dan melestarikan manusia dengan segala perbincangan tentang kebenaran dan keadilan di dalamnya.
Kontribusi terbesar dari paradigma hukum progresif adalah menjadikan para jurist untuk menjadi sososk manusia sebenar-benar manusia, bukan manusia sebagai robot/computer yang berisi software hukum. Jika demikian, apa bedanya dengan computer jika dalam praktiknya para jurist sekedar mengikuti perintah dan prosedur yang tercetak dalam undang-undang? Untuk apa bertahun-tahun susah payah dan sibuk mencetak ahli hukum kika kerjanya tidak lebih dari computer yang tinggal mencer-mencet? Jadi, paradigma hukum progresif akan mengarahkan jurist menjadi sosok yang arif-bijaksana dan memiliki wawasan komprehensif dalam mencapai kebenaran dan keadilan dalam setiap persoalan yang dihadapinya. Paradigma hukum progresif akan dapat menjinakkan kekakuan dan kebekuan undang-undang. Bukankah UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman kita, mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
I.IV PENUTUP
Pengantar hukum Indonesia adalah suatu sistem pengetahuan yang mempelajari tentang hukum-hukum terdapat di Indonesia, sehingga kita dapat mengenal tentang hukum di Indonesia. Makalah ini dimaksudkan agar kita mempelajari tentang hukum secara singkat tapi dapat dipahami dengan mudah.
Pengantar hukum Indonesia adalah suatu sistem pengetahuan yang mempelajari tentang hukum-hukum terdapat di Indonesia, sehingga kita dapat mengenal tentang hukum di Indonesia. Makalah ini dimaksudkan agar kita mempelajari tentang hukum secara singkat tapi dapat dipahami dengan mudah.
1.Hukum Menurut asas Manusia
Negara Hukum adalah negara yang penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Di dalamnya pemerintah dan
lembaga-lembaga lain dalam melaksanakan tindakan apa pun harus dilandasi oleh
hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam negara hukum,
kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi
hukum) dan bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum (Mustafa Kamal
Pasha, 2003)
Negara berdasar atas hukum menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi (supreme) sehingga ada istilah supremasi hukum. Supremasi hukum harus tidak boleh mengabaikan tiga ide dasar hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian (Achmad Ali,2002). Apabila Negara berdasar atas hukum, pemerintahan Negara itu juga harus berdasar atas suatu konstitusi atau undang-undang dasar sebagai landasan penyelenggaraan pemerintahan. Konstitusi dalam negara hukum adalah konstitusi yang bercirikan gagasan kostitusionalisme yaitu adanya pembatasan atas kekuasaan dan jaminan hak dasar warga negara.
Negara berdasar atas hukum menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi (supreme) sehingga ada istilah supremasi hukum. Supremasi hukum harus tidak boleh mengabaikan tiga ide dasar hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian (Achmad Ali,2002). Apabila Negara berdasar atas hukum, pemerintahan Negara itu juga harus berdasar atas suatu konstitusi atau undang-undang dasar sebagai landasan penyelenggaraan pemerintahan. Konstitusi dalam negara hukum adalah konstitusi yang bercirikan gagasan kostitusionalisme yaitu adanya pembatasan atas kekuasaan dan jaminan hak dasar warga negara.
Berdasarkan berbagai definisi tentang hukum, bisa
kita simpulkan bahwa Indonesia pun memiliki hukum. Namun bisa kita lihat
sendiri bahwa kondisi hukum di Indonesia saat ini lebih banyak menuai kritikan
daripada pujian. Kritikan-kritikan itu mengarah pada penegakkan hukum,
kesadaran hukum, dan kualitas hukumnya. Hukum yang seharusnya bisa menjadi
penegak keadilan bagi masyarakat masih belum bisa difungsikan sebagaimana
mestinya. Banyak berbagai praktek negatif layaknya racun atau virus yang
menyertai pelaksanaan hukum itu sendiri. Dampaknya, hukum di Indonesia terlihat
lemah dan statusnya pun terancam.
Lebih dari pada itu, hukum yang dibuat sebagai
jembatan pelaksanaan keadilan sudah tidak relevan lagi karena adanya berbagai
penyimpangan dan diskriminatif di dalamnya. Penyimpangan dan diskriminatif
peradilan ini menjadikan hukum seperti jaring laba-laba yang hanya mampu
menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kuat dan kaya. Ketika
orang biasa dan tidak mempunyai jabatan melakukan pelanggaran hukum, seperti
Hamdani yang mencuri sandal jepit bolong milik perusahaan tempat ia bekerja,
atau seorang nenek yang mencuri singkong karena kelaparan langsung ditangkap
dan dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Sebaliknya, seorang pejabat negara yang
melakukan korupsi masih bisa tetap bebas berkeliaran. Kasus-kasus hukum yang
menimpa orang-orang berjabatan tinggi dan memiliki kekuasaan sebagai terdakwa
atau tersangkanya seakan ditangani dengan berbelit-belit dan terkesan
ditunda-tunda hingga akhirnya tidak ada keputusan yang jelas. Seperti itulah
gambaran tentang kondisi penegakkan hukum di Indonesia.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pelaksanaan hukum
yang seperti itu sama halnya dengan merobohkan tiang penyangga hukum dan pada
akhirnya akan meruntuhkan bahkan menjatuhkan keadilan yang menjadi tujuannya.
Apakah kita semua bisa merasakan dampak dari keruntuhan itu? Bisakah kita lihat
di kehidupan nyata? Saya yakin bahwa semua masyarakat Indonesia pasti bisa
merasakan juga melihat kenyataannya bahwa hukum di sini bukan lagi hukum namun
seperti racun pembunuh bagi orang-orang yang tidak mempunyai penawarnya.
Orang-orang yang lemah hanya bisa pasrah sementara orang-orang yang kuat tak
pernah menyerah. Mereka semakin memperkuat diri justru dengan memanfaatkan
hukum yang sudah bisa ‘dibeli’ dengan kekayaan mereka. Lantas hukum macam apa
yang dimiliki Indonesia saat ini? Masih pantaskah hukum itu disebut hukum jika
sudah tidak murni dan tidak bisa difungsikan sebagaimana mestinya?
Rapuhnya hukum di Indonesia saat ini menunjukan
rapuhnya moral masyarakatnya. Jikalau masyarakat memiliki kesadaran hukum, maka
tak mungkin norma-norma saat ini bergeser kepada rasa egoisme dan individual.
Selain itu, nilai-nilai keadilan akan tetap terjaga dan bisa mencegah tindakan
anarkis dan kekerasan yang banyak terjadi saat ini. Tentu setiap masalah bisa
dengan mudah diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mufakat seperti yang
terkandung dalam Pancasila. Lebih lanjut, penegakkan hukum pun bisa lebih
terkendali dan berjalan sebagaimana mestinya.
Singkatnya, cara untuk menguatkan hukum di Indonesia
yang semakin rapuh ini adalah menutrisi hukum dan semua komponen terkait dengan
hal-hal positif yang bisa memulihkan serta membawanya ke jalan yang benar.
Hal-hal itu bisa kita mulai dengan meningkatkan kesadaran hukum aparat serta
masyarakat guna menegakkan hukum dan moral dengan baik. Disamping itu, penting
juga untuk mengubah peraturan perundang-undangan yang saat ini masih lebih
merefleksikan kepentingan politik penguasa dibanding kepentingan rakyat.
Meningkatkan kelancaran proses penegakkan hukum dengan menambah sarana dan
prasarananya pun menjadi salah satu komponen yang penting.
Memang bukan hal yang mudah untuk memperbaiki hukum
yang sudah terlanjur rusak kemudian mempertahan kekuatannya agar tidak kembali
rapuh. Meskipun demikian, pasti selalu ada celah untuk meruntuhkan keburukan
yang sedang menimpa hukum dan membangun kebaikan demi tegakknya hukum dan
keadilan di Indonesia karena hukum bernilai bukan hanya karena itu hukum,
melainkan karena ada kebaikan di dalamnya.
PEMBAGIAN HUKUM
A . Pembagian Hukum Menurut Sumbernya.
1. Hukum Undang-Undang yaitu : Hukum yang tercantum dalam buku perundang-undangan.
2. Hukum Kebiasaan yaitu : Hukum yang timbul dalam masyarakat dan berlaku secara umun.
3. Hukum Traktaa yaitu : Hukum yang ditetapkan dalam suatu perjanjian antara satu dengan negara lain.
4. Hukum Jurisprudensi yaitu : hukum yang dibentuk karena keputusan hakim.
B . Pembagian Menurut Berlakunya
1. Hukum tak tertulis
2. Hukum tertulis
C . Menurut Tempat Berlakunya
1. Hukum nasional yaitu : Hukum yang berlaku pada waktu dan tempat dalam suatu negara.
2. Hukum Internasional yaitu : Hukum yang mengatur hubungan hukum dalam dunia Internasional.
3. Hukum Asing yaitu : Hukum yang berlaku dalam negara lain.
4. Hukum Gereja yaitu : Hukum yang berlaku didalam suatu gereja untuk pada anggotanya.
D . Menurut Waktu berlakunya :
1. Ius Constituentum yaitu : Hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat dan daerah tertentu.
2. Ius Constituendam yaitu : hukum yang diharapkan berlaku pada waktu akan datang.
3. Hak Asasi (Hukum Alam) yaitu : Hgukum yang berlaku dimana-mana dalam segala waktu dan untuk segala bangsa di Dunia.
E . Menurut Cara Mempertahankannya
1. Hukum Materiil yaitu : Hukum yang memuat aturan-aturan kepentingan dan hubungan yang berwujud perintah dan larangan.
2. Hukum Formal yaitu : Hukum yang memuat peraturan cara bagaimana melaksanakan dan memperytahankan hukum materiil.
F . Menurut Wujudnya
1. Hukum Obyektif.
2. Hikum Subyektif.
G . Menurut Isinya
1. Hukum Privat yaitu : Hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dengan lain.
2. Humkum Publik yaitu : Hukum yang mengatur antara negara dengan perorangan atau masyarakat.
MAZHAB ILMU HUKUM
A . MAZHAB HUKUM ALAM
Menurut Aristoteles hukum Alam itu adalah “Hukum yang oleh orang-orang berfikiran sehat dirasakan sebagai selaras dengan kodrat alam” sedangkan menurut Thomas Van Aquino bahwa manusia dikarunia Tuhan dengan kemampuan berpikir dan kecakapan untuk dapat membedakan baik dan buruk dan mengenal berbagai peraturan perundangan yang langsung berasal dari “Undang-Undang Abadi (Lex eterna) atau dinamakan “Hukum Alam” dan menurut Hugo de Groot ialah pertimbangan pikiran yang menunjukkan mana yang benar dan mana yang tidak benar.
B . MAZHAB KETUHANAN
Bahwa perintah yang datang dari Tuhan yang ditulis dalam kitab suci dari bermacam-macam Agama tujuan mengenai hukum dikaitkan dengan agama dan teori ini mendasarkan perlakunya hukum atas kehendak Tuhan. Pada dasarnya agama memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan hukum oleh sebab itu setiap pemeluk agama wajib taat dan tunduk pada hukum, prinsip yang paling mendasar adalah bahwa kaidah agama-agama tersebut datangnya dari Tuhan.
C . MAZHAB SEJARAH
Reaksi terhadap para pemuja hukum alam di Eropa timbul suatu aliran baru yang dipelopori oleh Von Savigny, yang menyatakan bahwa hukum itu harus dipandang suatu penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa, selalu ada hubungan yang erat antara hukum dan kepribadian. Hukum bukannlah disusun dan diciptakan oelh orang, tetapi hukum itu tumbuh ditengah masyarakat dari penjelmaan dan kehendak rakyat yang pada suatu saat juka akan mati apabila sutau bangsa kehilangan kepribadiannya. Jelas bahwa hukum itu tidak terlepas dari sejarah suatu bangsa dan waktu yang serba relatif sebab hukum selalu berubah sesuai dengan keadaan.
D . TEORI KEDAULATAN RAKYAT
Pada zaman Reinassance, timbul teori yang mengajarkan bahwa dasar hukum itu adalah atau ratio manusia atau biasa disebut aliran Rationalisme. Menurut aliran ini, raja dan penguasa negara memperoleh kekuasaan bukan dari Tuhan tetapi dari rakyat.
Pada ajaran Rationalisme ini berpandangan bahwa kekuasaan raja berasal dari suatu perjanjian antara raja dengan rakyat, yang menaklukkan dirinya pada raja kemudian dengan surat yang disebutkan dalam perjanjian itu. Kemudian pada abad ke-18 Jean Jaeque Rousseau memperkenalkan teorinya bahwa dasar terjadinya suatu negara ialah dengan perjanjian denga masyarakat atau contract social yang diadakan oleh antara masyarakat untuk mendirikan suatu negara. Teori Rousseau yang menjadi paham kedaulatan rakyat mengajarkan bahwa negar bersandar atas kemauan rakyat, dan semua peraturan adalah penjelmaan dari rakyat.
E . TEORI KEDAULATAN NEGARA
Teori kedaulatan negara atau teori perjanjian masyarakat dan Naderatorim yang menyatakan, kekuasan hukun tidak dapat didasarkan atas kemauan masyarakat. Hukum ditaati karena masyarakat menaatinya. Hukum adalah kehendak negara dan negara mempunyai kekuasaan atau power yang tidak terbatas.
Teori ini dinamakan Kedaulatan Rakyat yang timbul pada abad memuncaknya pengetahuan alam dan di pelopori oleh Hans Kalsen, yang menyatakan bahwa hukum itu tidak lain dari pada kemauan negara , namun demikian Hans Kalsen menyadari bahwa orang mentaati hukum karena ia merasa wajib untuk menaatinya sebagai perintah negara.
F . TEORI KEDAULATAN HUKUM
Teori ini dipelopori oelh Prof Mr. Krabbe, yang menyatakan bahwa sumber hukum ialah rasa keadilan. Hukum hanyalah apa yang memenuhi rasa keadilan orang banyak, yang tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hukum itu ada karana anggota masyarakat mempunyai perasaan hukum, hanya kaidah yang timbul dari persaaan tersebut yang dapat mempunyai suatu kewibawaan atau kekuasaan. Inilah yang dinamakan Teori Kedaulatan Hukum.
A . Pembagian Hukum Menurut Sumbernya.
1. Hukum Undang-Undang yaitu : Hukum yang tercantum dalam buku perundang-undangan.
2. Hukum Kebiasaan yaitu : Hukum yang timbul dalam masyarakat dan berlaku secara umun.
3. Hukum Traktaa yaitu : Hukum yang ditetapkan dalam suatu perjanjian antara satu dengan negara lain.
4. Hukum Jurisprudensi yaitu : hukum yang dibentuk karena keputusan hakim.
B . Pembagian Menurut Berlakunya
1. Hukum tak tertulis
2. Hukum tertulis
C . Menurut Tempat Berlakunya
1. Hukum nasional yaitu : Hukum yang berlaku pada waktu dan tempat dalam suatu negara.
2. Hukum Internasional yaitu : Hukum yang mengatur hubungan hukum dalam dunia Internasional.
3. Hukum Asing yaitu : Hukum yang berlaku dalam negara lain.
4. Hukum Gereja yaitu : Hukum yang berlaku didalam suatu gereja untuk pada anggotanya.
D . Menurut Waktu berlakunya :
1. Ius Constituentum yaitu : Hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat dan daerah tertentu.
2. Ius Constituendam yaitu : hukum yang diharapkan berlaku pada waktu akan datang.
3. Hak Asasi (Hukum Alam) yaitu : Hgukum yang berlaku dimana-mana dalam segala waktu dan untuk segala bangsa di Dunia.
E . Menurut Cara Mempertahankannya
1. Hukum Materiil yaitu : Hukum yang memuat aturan-aturan kepentingan dan hubungan yang berwujud perintah dan larangan.
2. Hukum Formal yaitu : Hukum yang memuat peraturan cara bagaimana melaksanakan dan memperytahankan hukum materiil.
F . Menurut Wujudnya
1. Hukum Obyektif.
2. Hikum Subyektif.
G . Menurut Isinya
1. Hukum Privat yaitu : Hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dengan lain.
2. Humkum Publik yaitu : Hukum yang mengatur antara negara dengan perorangan atau masyarakat.
MAZHAB ILMU HUKUM
A . MAZHAB HUKUM ALAM
Menurut Aristoteles hukum Alam itu adalah “Hukum yang oleh orang-orang berfikiran sehat dirasakan sebagai selaras dengan kodrat alam” sedangkan menurut Thomas Van Aquino bahwa manusia dikarunia Tuhan dengan kemampuan berpikir dan kecakapan untuk dapat membedakan baik dan buruk dan mengenal berbagai peraturan perundangan yang langsung berasal dari “Undang-Undang Abadi (Lex eterna) atau dinamakan “Hukum Alam” dan menurut Hugo de Groot ialah pertimbangan pikiran yang menunjukkan mana yang benar dan mana yang tidak benar.
B . MAZHAB KETUHANAN
Bahwa perintah yang datang dari Tuhan yang ditulis dalam kitab suci dari bermacam-macam Agama tujuan mengenai hukum dikaitkan dengan agama dan teori ini mendasarkan perlakunya hukum atas kehendak Tuhan. Pada dasarnya agama memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan hukum oleh sebab itu setiap pemeluk agama wajib taat dan tunduk pada hukum, prinsip yang paling mendasar adalah bahwa kaidah agama-agama tersebut datangnya dari Tuhan.
C . MAZHAB SEJARAH
Reaksi terhadap para pemuja hukum alam di Eropa timbul suatu aliran baru yang dipelopori oleh Von Savigny, yang menyatakan bahwa hukum itu harus dipandang suatu penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa, selalu ada hubungan yang erat antara hukum dan kepribadian. Hukum bukannlah disusun dan diciptakan oelh orang, tetapi hukum itu tumbuh ditengah masyarakat dari penjelmaan dan kehendak rakyat yang pada suatu saat juka akan mati apabila sutau bangsa kehilangan kepribadiannya. Jelas bahwa hukum itu tidak terlepas dari sejarah suatu bangsa dan waktu yang serba relatif sebab hukum selalu berubah sesuai dengan keadaan.
D . TEORI KEDAULATAN RAKYAT
Pada zaman Reinassance, timbul teori yang mengajarkan bahwa dasar hukum itu adalah atau ratio manusia atau biasa disebut aliran Rationalisme. Menurut aliran ini, raja dan penguasa negara memperoleh kekuasaan bukan dari Tuhan tetapi dari rakyat.
Pada ajaran Rationalisme ini berpandangan bahwa kekuasaan raja berasal dari suatu perjanjian antara raja dengan rakyat, yang menaklukkan dirinya pada raja kemudian dengan surat yang disebutkan dalam perjanjian itu. Kemudian pada abad ke-18 Jean Jaeque Rousseau memperkenalkan teorinya bahwa dasar terjadinya suatu negara ialah dengan perjanjian denga masyarakat atau contract social yang diadakan oleh antara masyarakat untuk mendirikan suatu negara. Teori Rousseau yang menjadi paham kedaulatan rakyat mengajarkan bahwa negar bersandar atas kemauan rakyat, dan semua peraturan adalah penjelmaan dari rakyat.
E . TEORI KEDAULATAN NEGARA
Teori kedaulatan negara atau teori perjanjian masyarakat dan Naderatorim yang menyatakan, kekuasan hukun tidak dapat didasarkan atas kemauan masyarakat. Hukum ditaati karena masyarakat menaatinya. Hukum adalah kehendak negara dan negara mempunyai kekuasaan atau power yang tidak terbatas.
Teori ini dinamakan Kedaulatan Rakyat yang timbul pada abad memuncaknya pengetahuan alam dan di pelopori oleh Hans Kalsen, yang menyatakan bahwa hukum itu tidak lain dari pada kemauan negara , namun demikian Hans Kalsen menyadari bahwa orang mentaati hukum karena ia merasa wajib untuk menaatinya sebagai perintah negara.
F . TEORI KEDAULATAN HUKUM
Teori ini dipelopori oelh Prof Mr. Krabbe, yang menyatakan bahwa sumber hukum ialah rasa keadilan. Hukum hanyalah apa yang memenuhi rasa keadilan orang banyak, yang tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hukum itu ada karana anggota masyarakat mempunyai perasaan hukum, hanya kaidah yang timbul dari persaaan tersebut yang dapat mempunyai suatu kewibawaan atau kekuasaan. Inilah yang dinamakan Teori Kedaulatan Hukum.
G . TEORI KESEIMBANGAN
Teori keseimbangan ini dipelopori oleh Prof R. Kranenburg yang berusaha mencari dalil yang menjadi dasar berfungsi keadaan darurat yang dapat menimbulkan suatu keseimbangan didalam masyarakat.
Kranenburg membela ajara Karabbe yang berpendapat bahwa kesadaran hukum orang itu adalah sumber hukum da hukum itu berfungsi menurut suatu dalil yang nyata sebagaimana dirumuskan Kranenburg, tiap orang menerima keuntungan atau mendapat kerugian sebanyak dasar–dasar yang telah ditetapkan atau diletakkan terlebih dahulu.
Pembagian keuntungan dan kerugian ini yang dalam hal ditetapkan terlebih dahulu dasar-dasarnya ialah tiap anggota masyarakat hukum sederajat dan sama.
2. Wawasan Nusantara Tentang Negara Hukum Formil dan Negara Hukum Materiil
Negara hukum formil adalah Negara hukum dalam arti sempit yaitu negara yang warga negara. Urusan ekonomi diserahkan pada warga dengan dalil laissez faire, laissez aller yang berarti bila warga dibiarkan mengurus kepentingan ekonominya sendiri maka dengan sendirinya perekonomian negara akan sehat.
Materiil atau Negara hukum dalam arti luas. Dalam negara hukum materiil atau dapat disebut Negara hukum modern, pemerintah diberi tugas membangun kesejahteraan umum di berbagai lapangan kehidupan. Untuk itu pemerintah diberi kewenangan atau kemerdekaan untuk turut campur dalam urusan warga Negara. Pemerintah diberi Freies Ermessen yaitu kemerdekaan yang dimiliki pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan ekonomi social dan keleluasaan untuk tidak terikat pada produk legislasi parlemen.
Negara hukum materiil atau dapat disebut Welfare
State adalah Negara yang pemerintahannya memiliki keleluasaan untuk turut
campur tangan dalam urusan warga dengan dasar bahwa pemerintah ikut bertanggung
jawab terhadap kesejahteraan rakyat. Negara bersifat aktif dan mandiri dalam
upaya membangun kesejahteraan rakyat.
Pengertian Hukum Menurut Para Ahli Hukum
1. Plato, dilukiskan dalam bukunya Republik. Hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.
2. Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda dari bentuk dan isi konstitusi; karena kedudukan itulah undang-undang mengawasi hakim dalam melaksanakan jabatannya dalam menghukum orang-orang yang bersalah.
3. Austin, hukum adalah sebagai peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya (Friedmann, 1993: 149).
4. Bellfoid, hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat itu didasarkan atas kekuasaan yang ada pada masyarakat.
5. Mr. E.M. Mayers, hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan ditinjau kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.
6. Duguit, hukum adalah tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama terhadap orang yang melanggar peraturan itu.
7. Immanuel Kant, hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan kehendak bebas dari orang lain memenuhi peraturan hukum tentang Kemerdekaan.
8. Van Kant, hukum adalah serumpun peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang diadakan untuk mengatur melindungi kepentingan orang dalam masyarakat.
9. Van Apeldoorn, hukum adalah gejala sosial tidak ada masyarakat yang tidak mengenal hukum maka hukum itu menjadi suatu aspek kebudayaan yaitu agama, kesusilaan, adat istiadat, dan kebiasaan.
10. S.M. Amir, S.H.: hukum adalah peraturan, kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi.
11. E. Utrecht, menyebutkan: hukum adalah himpunan petunjuk hidup –perintah dan larangan– yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa itu.
12. M.H. Tirtaamidjata, S.H., bahwa hukum adalah semua aturan (norma) yang harus dituruti dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.
13. J.T.C. Sumorangkir, S.H. dan Woerjo Sastropranoto, S.H. bahwa hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman.
14. Soerojo Wignjodipoero, S.H. hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah larangan atau izin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu atau dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.
15. Dr. Soejono Dirdjosisworo, S.H. menyebutkan aneka arti hukum yang meliputi: (1) hukum dalam arti ketentuan penguasa (undang-udang, keputusan hakim dan sebagainya), (2) hukum dalam arti petugas-petugas-nya (penegak hukum), (3) hukum dalam arti sikap tindak, (4) hukum dalam arti sistem kaidah, (5) hukum dalam arti jalinan nilai (tujuan hukum), (6) hukum dalam arti tata hukum, (7) hukum dalam arti ilmu hukum, (8) hukum dalam arti disiplin hukum.
16. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., dan Purnadi Purbacaraka, S.H. menyebutkan arti yang diberikan masyarakat pada hukum sebagai berikut:
1. Plato, dilukiskan dalam bukunya Republik. Hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.
2. Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda dari bentuk dan isi konstitusi; karena kedudukan itulah undang-undang mengawasi hakim dalam melaksanakan jabatannya dalam menghukum orang-orang yang bersalah.
3. Austin, hukum adalah sebagai peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya (Friedmann, 1993: 149).
4. Bellfoid, hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat itu didasarkan atas kekuasaan yang ada pada masyarakat.
5. Mr. E.M. Mayers, hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan ditinjau kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.
6. Duguit, hukum adalah tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama terhadap orang yang melanggar peraturan itu.
7. Immanuel Kant, hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan kehendak bebas dari orang lain memenuhi peraturan hukum tentang Kemerdekaan.
8. Van Kant, hukum adalah serumpun peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang diadakan untuk mengatur melindungi kepentingan orang dalam masyarakat.
9. Van Apeldoorn, hukum adalah gejala sosial tidak ada masyarakat yang tidak mengenal hukum maka hukum itu menjadi suatu aspek kebudayaan yaitu agama, kesusilaan, adat istiadat, dan kebiasaan.
10. S.M. Amir, S.H.: hukum adalah peraturan, kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi.
11. E. Utrecht, menyebutkan: hukum adalah himpunan petunjuk hidup –perintah dan larangan– yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa itu.
12. M.H. Tirtaamidjata, S.H., bahwa hukum adalah semua aturan (norma) yang harus dituruti dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.
13. J.T.C. Sumorangkir, S.H. dan Woerjo Sastropranoto, S.H. bahwa hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman.
14. Soerojo Wignjodipoero, S.H. hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah larangan atau izin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu atau dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.
15. Dr. Soejono Dirdjosisworo, S.H. menyebutkan aneka arti hukum yang meliputi: (1) hukum dalam arti ketentuan penguasa (undang-udang, keputusan hakim dan sebagainya), (2) hukum dalam arti petugas-petugas-nya (penegak hukum), (3) hukum dalam arti sikap tindak, (4) hukum dalam arti sistem kaidah, (5) hukum dalam arti jalinan nilai (tujuan hukum), (6) hukum dalam arti tata hukum, (7) hukum dalam arti ilmu hukum, (8) hukum dalam arti disiplin hukum.
16. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., dan Purnadi Purbacaraka, S.H. menyebutkan arti yang diberikan masyarakat pada hukum sebagai berikut:
a. Hukum sebagai ilmu pengetahuan,
yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan
pemikiran.
b. Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.
c. Hukum sebagai kaidah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan.
d. Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu.
e. Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum.
f. Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi yang menyangkut keputusan penguasa.
g. Hukum sebagai proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal-balik antara unsur-unsur pokok sistem kenegaraan.
h. Hukum sebagai sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yaitu perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
i. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan-jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang siagap baik dan buruk.
17. Otje Salman, S.H.: dilihat dari kenyataan sehari-hari di lingkungan masyarakat mengartikan atau memberi arti pada hukum terlepas dar apakah itu benar atau keliru, sebagai berikut:
a. Hukum sebagai ilmu pengetahuan, diberikan oleh kalangan ilmuan.
b. Hukum sebagai disiplin, diberikan oleh filosof, teoritis dan politisi (politik hukum).
c. Hukum sebagai kaidah, diberikan oleh filosof, orang yang bijaksana.
d. Hukum sebagai Lembaga Sosial, diberika oleh filosof, ahli Sosiaologi Hukum.
e. Hukum sebagai tata hukum, diberikan oleh DPR. Dan eksekutif (di Indonesia).
f. Hukum sebagai petugas, diberikan oleh tukang beca, pedagang kaki lima.
g. Hukum sebagai keputusan penguasa, diberikan oleh atasan dan bawahan dalam suatu Instansi atau lembaga negara.
h. Hukum sebagai proses pemerintah, diberika oleh anggota dan pimpinan eksekutif.
i. Hukum sebagai sarana sistem pengandalian sosial, diberikan oleh para pembentuk dan pelaksana hukum.
j. Hukum sebagai sikap tindak atau perikelakuan ajeg, diberikan oleh anggota dan pemuka masyarakat.
k. Hukum sebagai nilai-nilai diberikan oleh filosof, teorotis (ahli yurisprudence).
l. Hukum sebagai seni, diberikan oleh mereka yang peka terhadap lingkungannya; ahli karikatur.
b. Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.
c. Hukum sebagai kaidah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan.
d. Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu.
e. Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum.
f. Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi yang menyangkut keputusan penguasa.
g. Hukum sebagai proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal-balik antara unsur-unsur pokok sistem kenegaraan.
h. Hukum sebagai sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yaitu perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
i. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan-jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang siagap baik dan buruk.
17. Otje Salman, S.H.: dilihat dari kenyataan sehari-hari di lingkungan masyarakat mengartikan atau memberi arti pada hukum terlepas dar apakah itu benar atau keliru, sebagai berikut:
a. Hukum sebagai ilmu pengetahuan, diberikan oleh kalangan ilmuan.
b. Hukum sebagai disiplin, diberikan oleh filosof, teoritis dan politisi (politik hukum).
c. Hukum sebagai kaidah, diberikan oleh filosof, orang yang bijaksana.
d. Hukum sebagai Lembaga Sosial, diberika oleh filosof, ahli Sosiaologi Hukum.
e. Hukum sebagai tata hukum, diberikan oleh DPR. Dan eksekutif (di Indonesia).
f. Hukum sebagai petugas, diberikan oleh tukang beca, pedagang kaki lima.
g. Hukum sebagai keputusan penguasa, diberikan oleh atasan dan bawahan dalam suatu Instansi atau lembaga negara.
h. Hukum sebagai proses pemerintah, diberika oleh anggota dan pimpinan eksekutif.
i. Hukum sebagai sarana sistem pengandalian sosial, diberikan oleh para pembentuk dan pelaksana hukum.
j. Hukum sebagai sikap tindak atau perikelakuan ajeg, diberikan oleh anggota dan pemuka masyarakat.
k. Hukum sebagai nilai-nilai diberikan oleh filosof, teorotis (ahli yurisprudence).
l. Hukum sebagai seni, diberikan oleh mereka yang peka terhadap lingkungannya; ahli karikatur.
pengertian hukum pidana menurut Moeljatno, dalam
bukunya "Asas Asas Hukum Pidana" menguraikan berdasarkan dari
pengertian istilah hukum pidana bahwa ”Hukum pidana adalah bagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan
aturan-aturan untuk:
Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana
tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut;
Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan;
Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana
itu dapat dilakasanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan
tersebut ”.
pengertian hukum pidana menurut Pompe dalam
"Moeljatno: Asas Asas Hukum Pidana hal: 5". Hukum pidana adalah semua
aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa seharusnya
dijatuhi pidana dan apakah macamnya pidana itu.8
pengertian hukum pidana menurut Van Kan dalam "Moeljatno: Asas Asas Hukum Pidana hal: 6". Hukum pidana tidak mengadakan norma-norma baru dan tidak menimbul-kan kewajiban-kewajiban yang dulunya belum ada. Hanya norma-norma yang sudah ada saja yang dipertegas, yaitu dengan mengadakan ancaman pidana dan pemidanaan. Hukum pidana memberikan sanksi yang bengis dan sangat memperkuat berlakunya norma-norma hukum yang telah ada. Tetapi tidak mengadakan norma baru. Hukum pidana sesungguhnya adalah hukum sanksi (het straf-recht is wezenlijk sanctie-recht).
pengertian hukum pidana menurut G. WLG. Lemaire. Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk UU) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut. (P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984)
pengertian hukum pidana menurut Hazewinkel-Suringa. Hukum pidana adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya dian-cam dengan pidana (sanksi hukum) bagi barang siapa yang membuatnya. (Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1991)
pengertian hukum pidana menurut H. WFC. Hattum. hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peaturan-peraturannya denagan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman. (Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990)
pengertian hukum pidana menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan. Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melaikan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan. (Pengantar Ilmu Hukum, Titik Triwulan Tutik, S.H, M.H, Hal. 216-217)
pengertian hukum pidana menurut Van Kan dalam "Moeljatno: Asas Asas Hukum Pidana hal: 6". Hukum pidana tidak mengadakan norma-norma baru dan tidak menimbul-kan kewajiban-kewajiban yang dulunya belum ada. Hanya norma-norma yang sudah ada saja yang dipertegas, yaitu dengan mengadakan ancaman pidana dan pemidanaan. Hukum pidana memberikan sanksi yang bengis dan sangat memperkuat berlakunya norma-norma hukum yang telah ada. Tetapi tidak mengadakan norma baru. Hukum pidana sesungguhnya adalah hukum sanksi (het straf-recht is wezenlijk sanctie-recht).
pengertian hukum pidana menurut G. WLG. Lemaire. Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk UU) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut. (P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984)
pengertian hukum pidana menurut Hazewinkel-Suringa. Hukum pidana adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya dian-cam dengan pidana (sanksi hukum) bagi barang siapa yang membuatnya. (Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1991)
pengertian hukum pidana menurut H. WFC. Hattum. hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peaturan-peraturannya denagan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman. (Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990)
pengertian hukum pidana menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan. Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melaikan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan. (Pengantar Ilmu Hukum, Titik Triwulan Tutik, S.H, M.H, Hal. 216-217)
pengertian hukum pidana menurut Adami
Chazawi dalam bukunya "Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1". Hukum
pidana itu adalah bagian dari hukum publik yang memuat/berisi
ketentuan-ketentuan tentang:
Aturan umum hukum pidana dan (yang
dikaitkan/berhubungan dengan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan
(aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman
sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu;
Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus
dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana
yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya;
Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus
dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa,
Hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam
rangka usaha negara menentukan, menja-tuhkan dan melaksanakan sanksi pidana
terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan
oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha me-lindungi dan
mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan
hukum pidana tersebut.
pengertian hukum pidana menurut Simons. Hukum pidana
itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam arti objek tif atau strafrecht in
objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in
subjectieve zin. Hukum pidana dalam arti objek tif adalah hukum pidana yang
berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale.(P.A.F.
Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984)
Simons dalam Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990. merumuskan hukum pidana dalam arti objek tif sebagai:
Simons dalam Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990. merumuskan hukum pidana dalam arti objek tif sebagai:
Keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara
diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati;
Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat
untuk penjatuhan pidana, dan;
Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk
pen-jatuhan dan penerapan pidana.
Hukum pidana dalam arti subjektif atau ius puniendi
bisa diartikan secara luas dan sempit, yaitu sebagai berikut:
Dalam arti luas: Hak dari negara atau alat-alat
perlengkapan negara untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan
tertentu;
Dalam arti sempit: Hak untuk menuntut
perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana terhadap orang yang
melakukan perbuatan yang dilarang. Hak ini dilakukan oleh badan-badan
peradilan. Jadi ius puniendi adalah hak mengenakan pidana. Hukum pidana dalam
arti subjektif (ius puniendi) yang merupakan peraturan yang mengatur hak negara
dan alat perlengkapan negara untuk mengancam, menjatuhkan dan melaksanakan
hukuman terhadap seseorang yang melanggar larangan dan perintah yang telah
diatur di dalam hukum pidana itu diperoleh negara dari peraturan-peraturan yang
telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objek tif (ius poenale). Dengan
kata lain ius puniendi harus berdasarkan kepada ius poenale.
Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber
hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis. Di Indonesia sendiri, kita
belum memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, sehingga masih
diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan dari pemerintah kolonial
Hindia Belanda. Adapun sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana antara lain
3. Ketahanan Negara Hukum
Fredrich Julius stahl dari kalangan ahli hukum eropa continental memberikan cirri-ciri rechtsstaat sebagai berikut.
1. Hak asasi manusia
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asai manusia yang biasa dikenal sebagai trias politika.
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan –peraturan.
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan
Adapun AV Dicey dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon member ciri-ciri Rule of law sebagai berikut :
1. Supremasi hukum ,dalam arti tidak boleh ada kesewenwng-wenangan,sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum
2. Kedudukan yang sama di depan hukum,baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat
3. Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan.
Prof.Sudargo Gautama mengemukakan ada 3(tiga) ciri
atau unsur dari negara hukum, yakni sebagai berikut :
a. Terdapat pembatasan kekuasaan Negara terhadap perorangan, maksudnya Negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang . Tindakan Negara dibatasi oleh hukum, individual mempunyai hak terhadap Negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa.
b. Asas legalitas
Setiap tindakan Negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya.
a. Terdapat pembatasan kekuasaan Negara terhadap perorangan, maksudnya Negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang . Tindakan Negara dibatasi oleh hukum, individual mempunyai hak terhadap Negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa.
b. Asas legalitas
Setiap tindakan Negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya.
c. Pemisahan kekuasaan
Agar hak-hak asasi itu betul-betul terlindungi , diadakan pemisahan kekuasaan yaitu badan yang membuat peraturan peundang-undangan, melaksanakan dan badan yang mengadili harus terpisah satu sama lain tidak berada dalam satu Negara.
Agar hak-hak asasi itu betul-betul terlindungi , diadakan pemisahan kekuasaan yaitu badan yang membuat peraturan peundang-undangan, melaksanakan dan badan yang mengadili harus terpisah satu sama lain tidak berada dalam satu Negara.
Franz Magins Suseno (1997) mengemukakan adanya 5
(lima) cirri negara hukum sebagai salah satu cirri hakiki Negara demokrasi.
Kelima cirri Negara hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fungsi kenegaraan dijalankan oleh lembaga yang bersangkutan sesuai dengan ketetapan sebuah undang-undang dasar.
2. Undang-undang dasar menjamin hak asasi manusia yang paling penting.Karena tanpa jaminan tersebut , hukum akan menjadi sarana penindasan. Jaminan hak asasi manusia memastikan bahwa pemerintah tidak dapat menyalahgunakan hukum untuk tindakan yang tidak adil atau tercela.
3. Badan-badan Negara menjalankan kekuasaan masing-masing selalu dan hanya taat pada dasar hukum yang berlaku.
4. Terhadap tindakan badan Negara, masyarakat dapat mengadu ke pengadilan dan putusan pengadilan dilaksanakan oleh badan Negara.
5. Badan kehakiman bebas dan tidak memihak.
1. Fungsi kenegaraan dijalankan oleh lembaga yang bersangkutan sesuai dengan ketetapan sebuah undang-undang dasar.
2. Undang-undang dasar menjamin hak asasi manusia yang paling penting.Karena tanpa jaminan tersebut , hukum akan menjadi sarana penindasan. Jaminan hak asasi manusia memastikan bahwa pemerintah tidak dapat menyalahgunakan hukum untuk tindakan yang tidak adil atau tercela.
3. Badan-badan Negara menjalankan kekuasaan masing-masing selalu dan hanya taat pada dasar hukum yang berlaku.
4. Terhadap tindakan badan Negara, masyarakat dapat mengadu ke pengadilan dan putusan pengadilan dilaksanakan oleh badan Negara.
5. Badan kehakiman bebas dan tidak memihak.
Hukum
Menurut Wawasan Nusantara
Sebelum lahirnya Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982
(United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982) yang menetapkan
lebar laut teritorial adalah 12 mil laut. Pada konvensi hukum laut I dan II
yang dilangsungkan di Jenewa tidak mampu menyelesaikan masalah kesepakatan
tentang luas laut teritorial dan hanya menetapkan lebar laut teritorial seluas
3 mul laut berdasarkan praktek kebiasaan waktu itu. Selain itu, penetapan batas
wilayah menurut “Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939”
yang dimuat dalam Staatsblad 1939 No. 442 Pasal 1 (1) yang juga menetapkan
lebar wilayah laut teritorial Indonesia adalah 3 mil, dalam konteks negara
kepulauan (archipelagic state) seperti Indonesia, hal ini jelas sangat
merugikan.
Mengingat adanya kelemahan atas hukum yang mengatur
mengenai wilayah laut (perairan) di Wilayah Negara Republik Indonesia yang
masih merupakan warisan kolonial Belanda dahulu, dengan tolak ukur jarak tiga
mil laut dari pantai itu, ternyata ada juga negara-negara lain yang
menyimpanginya. .Negara-negara itu yaitu negara-negara Skandinavia sejauh empat
mil, dan Spanyol dengan jarak enam mil dari pantai. Karena itu, wajarlah
apabila pemerintah RI mempunyai gagasan baru untuk merombak total (masalah
lebar laut) dan kemudian mengembangkan ke aspek-aspek selanjutnya.
Perombakan yang dimaksudkan di atas untuk pertama
kali dilaksanakan oleh pemerintah RI dengan mengeluarkan pengumuman pada
tanggal 13 Desember 1957 yang disebut Deklarasi 13 Desember 1957, atau dikemudian hari dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda karena pada saat itu Indonesia masih memakai konstitusi RIS 1949 dengan Perdana Menteri-nya Ir, Djuanda.
tanggal 13 Desember 1957 yang disebut Deklarasi 13 Desember 1957, atau dikemudian hari dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda karena pada saat itu Indonesia masih memakai konstitusi RIS 1949 dengan Perdana Menteri-nya Ir, Djuanda.
Adapun pertimbangan-pertimbangan yang mendorong
pemerintah RI sebagai suatu negara kepulauan sehingga mengeluarkan pernyataan
mengenai wilayah perairan Indonesia, adalah:
a. Bahwa bentuk geografis Indonesia yang berwujud negara kepulauan, yang terdiri atas tiga belas ribu lebih pulau-pulau, besar dan kecil yang tersebar dilautan.
b. Demi untuk kesatuan wilayah negara RI, agar semua kepulauan dan perairan (selat) yang ada diantaranya merupakan satu kesatuan yang utuh, dan tidak dapat dipisahkan antara pulau yang satu dengan lainnya, atau antara pulau dengan perairannya.
c. Bahwa penetapan batas perairan wilayah sebagaimana menurut “Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939” yang dimuat dalam Staatsblad 1939 No. 442 Pasal 1 (1) sudah tidak sesuai lagi dengan kepentingan Indonesia setelah merdeka.
d. Bahwa Indonesia setelah berdaulat sebgai suatu negara yang merdeka, mempunyai hak sepenuhnya dan berkewajiban untuk mengatur segala sesuatunya, demi untuk keamanan dan keselamatan negara serta bangsanya.
a. Bahwa bentuk geografis Indonesia yang berwujud negara kepulauan, yang terdiri atas tiga belas ribu lebih pulau-pulau, besar dan kecil yang tersebar dilautan.
b. Demi untuk kesatuan wilayah negara RI, agar semua kepulauan dan perairan (selat) yang ada diantaranya merupakan satu kesatuan yang utuh, dan tidak dapat dipisahkan antara pulau yang satu dengan lainnya, atau antara pulau dengan perairannya.
c. Bahwa penetapan batas perairan wilayah sebagaimana menurut “Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939” yang dimuat dalam Staatsblad 1939 No. 442 Pasal 1 (1) sudah tidak sesuai lagi dengan kepentingan Indonesia setelah merdeka.
d. Bahwa Indonesia setelah berdaulat sebgai suatu negara yang merdeka, mempunyai hak sepenuhnya dan berkewajiban untuk mengatur segala sesuatunya, demi untuk keamanan dan keselamatan negara serta bangsanya.
Deklarasi Djuanda 1957 merupakan titik pangkal
lahirnya klaim Wawasan Nusantara, yang merupakan konsepsi kewilayahan. Dalam
masalah pengumuman pemerintah RI tentang konsep Wilayah Perairan, pemerintah RI
bukan satu-satunya negara yang melakukan klaim atas wilayah pantainya. Sebab
sebelumnya, Presiden AS, S. Truman, pada tanggal 25 Desember 1945 mengumumkan
dua pernyataan, yaitu:
1. Proklamasi tentang landas kontinen
2. Proklamasi tentang perikanan.
1. Proklamasi tentang landas kontinen
2. Proklamasi tentang perikanan.
Istilah Wawasan Nusantara sebenarnya baru dikenal
pada seminar pertahanan keamanan tahun 1966. Pada waktu itu Wawasan Nusantara
dipergunakan untuk mengembangkan kekuatan pertahanan dan keamanan yang terpadu,
untuk menggantikan tiga wawasan yang pernah ada, dan sifatnya sektoral, yatiu:
a. Wawasan Benua, yang diprakarsai oleh AD.
b. Wawasan Bahari yang diprakarsai oleh AL.
c. Wawasan Dirgantara yang diprakarsai oleh AU
a. Wawasan Benua, yang diprakarsai oleh AD.
b. Wawasan Bahari yang diprakarsai oleh AL.
c. Wawasan Dirgantara yang diprakarsai oleh AU
Ketiga wawasan tersebut di atas masing-masing
sebagai perwujudan konsep kekuatan (power concept) sehingga menimbulkan adu
kekuatan, yang dapat mengakibatkan gejolak atau ketegangan dalam
kehidupan politik bagsa dan negara, atau kemungkinan dapat menimbulkan
terjadinya instabilitas nasional dalam kehidupan masyarakat negara. Lain halnya
dengan Wawasan Nusantara yang dikembangkan menjadi kebudayaan politik
(political culture) dan merupakan milik bangsa dan negara RI. Dua tahun setelah
keluarnya Deklarasi Djuanda 1957, pada tanggal 18 Februari 1960 dikuatkan
dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 4 tahun
1960 tentang Perairan Indonesia (LN. 1960. No. 22) dengan maksud agar klaim
tersebut memiliki kekuatan hukum dan mengikat.
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966,
Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang tersebut diatas, dikukuhkan
(dituangkan) menjadi undang-undang No. 4 Prp. Tahun 1960. Adapun isi pokok UU No. 4. Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia adalah:
1. Perairan Indonesia ialah Laut Wilayah beserta perairan Pedalaman Indonesia (Perairan Nusantara).
2. Laut Wilayah Indonesia ialah jalur laut selebar dua belas mil laut dari pulaupulau yang terluar atau bagian pulau-pulau yang terluar dengan dihubungkan garis lurus antara satu dengan lainnya.
3. Apabila ada selat yang lebarnya tidak melebihi dua puluh empat mil laut, dan negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi (artinya ada negara tetangga), maka garis batas Laut Wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.
4. Perairan Pedalaman Indonesia (Perairan Nusantara) adalah semau perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis besar.
5. Hak Lintas Damai kendaraan air (kapal) asing, diakui dan dijaman sepanjang tidak mengganggu atau bertentangang dengan keamanan serta keselamatan negara dan bangsa.
6. Tidak berlakunya lagi pasal 1 ayat (1) angka 1 sampai dengan 4 ‘Territoriale Zee Maritieme Kringen Ordonantie” 1939.
(dituangkan) menjadi undang-undang No. 4 Prp. Tahun 1960. Adapun isi pokok UU No. 4. Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia adalah:
1. Perairan Indonesia ialah Laut Wilayah beserta perairan Pedalaman Indonesia (Perairan Nusantara).
2. Laut Wilayah Indonesia ialah jalur laut selebar dua belas mil laut dari pulaupulau yang terluar atau bagian pulau-pulau yang terluar dengan dihubungkan garis lurus antara satu dengan lainnya.
3. Apabila ada selat yang lebarnya tidak melebihi dua puluh empat mil laut, dan negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi (artinya ada negara tetangga), maka garis batas Laut Wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.
4. Perairan Pedalaman Indonesia (Perairan Nusantara) adalah semau perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis besar.
5. Hak Lintas Damai kendaraan air (kapal) asing, diakui dan dijaman sepanjang tidak mengganggu atau bertentangang dengan keamanan serta keselamatan negara dan bangsa.
6. Tidak berlakunya lagi pasal 1 ayat (1) angka 1 sampai dengan 4 ‘Territoriale Zee Maritieme Kringen Ordonantie” 1939.
Implikasi posistif klaim wawasan nusantara yang
tercantum dalam UU No. 4/ Prp 1960 adalah :
1. Wilayah Indonesia berdasarkan TZMKO 1939 luasnya hanya: 2.027.087 km2; setelah berlakunya UU No. 4/Prp. 1960 tersebut, luas wilayah Indonesia menjadi: 5.193.250. km2 (daratan dan lautan); berarti luas wilayah bertambah 3.166.163 km2 (Perairan) atau lebih kurang: 145%. Meskipun pertambahan wilayah tersebut berwujud perairan, tetapi banyak mengandung sumber daya alam.
2. Realisasi makna ketentuan yang tercantum didalam alinea IV pembukaan UUD 1945, Juga Pasal 1 (1) UUD 1945 dapat dilaksana.
1. Wilayah Indonesia berdasarkan TZMKO 1939 luasnya hanya: 2.027.087 km2; setelah berlakunya UU No. 4/Prp. 1960 tersebut, luas wilayah Indonesia menjadi: 5.193.250. km2 (daratan dan lautan); berarti luas wilayah bertambah 3.166.163 km2 (Perairan) atau lebih kurang: 145%. Meskipun pertambahan wilayah tersebut berwujud perairan, tetapi banyak mengandung sumber daya alam.
2. Realisasi makna ketentuan yang tercantum didalam alinea IV pembukaan UUD 1945, Juga Pasal 1 (1) UUD 1945 dapat dilaksana.
Dalam usaha mewujudkan konsep wawasan nusantara ini,
pemerintah RI telah dua kali meng-gol-kan klaim wawasan nusantara itu di forum
internasional, yaitu dalam konferensi hukum laut Internasional pada tahun 1958
dan tahun 1960; tetapi belum mendapatkan hasil sebagaimana diharapkan. Dengan
telah dijadikannya Deklarasi Djuanda 1957 kedalam bentuk undang-undang, yang
berarti mempunyai kekuatan hukum dan mengikat. Dalam hal ini, ada dua macam
jalur jalur yang ditempuh pemerintah RI dalam memperjuangkan konsep wawasan
nusantara. Kedua macam jalur tersebut adalah:
a) Jalur internasional; yaitu seperti yang sudah dilakukan, dengan jalan memperjuangkan dalam pembicaraan-pembicaraan di forum internasional, konferensi hukum laut,dan forum-forum internasional lainnya.
b) Jalur nasional; yaitu dengan langsung mengadakan perundingan baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara-negara tetangga yang berkepentingan.
a) Jalur internasional; yaitu seperti yang sudah dilakukan, dengan jalan memperjuangkan dalam pembicaraan-pembicaraan di forum internasional, konferensi hukum laut,dan forum-forum internasional lainnya.
b) Jalur nasional; yaitu dengan langsung mengadakan perundingan baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara-negara tetangga yang berkepentingan.
Diantara dua macam jalur cara memperjuangkan klaim
wawasan nusantara tersebut, ternyata dalam jangka waktu pendek lebih terlihat
hasilnya meskipun terbatas hanya negara-negara yang berkepentingan saja adalah
yang melalui jalur nasional. Hal ini terbukti dengan adanya
perundinganperundingan antar negara yang menghasilkan perjanjian (treaty) atau
persetujuan (agreement), mengenai perbatasan laut wilayahnya dengan wilayah RI.
Perjanjian dan persetujuan yang dimaksudkan antara lain, termuat dalam:
1. UU No. 22 tahun 1971 (LN. 1971 No. 16) tentang Perjanjian antara RI dan Malaysia tentang Penetapan Garis Batas Laut kedua negara di selat Malaka
1. UU No. 22 tahun 1971 (LN. 1971 No. 16) tentang Perjanjian antara RI dan Malaysia tentang Penetapan Garis Batas Laut kedua negara di selat Malaka
2. Keputusan Presiden No. 66 Tahun 1972 (LN. 1972
No. 45) tentang Penetapan Batas Laut Antara RI – Australia di Laut Timor dan
Laut Arafuru.
3. UU No. 6 Tahun 1973 (LN. 1973 No. 58), tentang Perjanjian Antara Indonesia dengan Australia Mengenai Garis-garis Batas Tertentu Antara Indonesia dengan PNG.
4. UU No. 7 tahun 1973 (LN. 1973 No. 59) tentang Perjanjian Antara Indonesia dengan Singapura Mengenai Penetapan Garis Batas Laut Wilayah kedua negara di Selat Singapura.
5. Keppres No 24 Tahun 1978 (LN. 1978 No 37) Mengesahkan Persetujuan Antara Pemerintah RI, Pemerintah Republik India dan Pemerintah Kerajaan Thailand, Tentang Penetapan Titik Pertemuan Tiga Garis Batas dan Penetapan Garis Batas Ketiga Negara di Laut Andaman.
6. Keppres No. 6 Tahun 1980 (LN. 1980 No. 3) tentang Pengesahan Persetujuan Dasar Antara RI dan PNG tentang Pengaturan-Pengaturan Perbatasan Kedua Negara.
3. UU No. 6 Tahun 1973 (LN. 1973 No. 58), tentang Perjanjian Antara Indonesia dengan Australia Mengenai Garis-garis Batas Tertentu Antara Indonesia dengan PNG.
4. UU No. 7 tahun 1973 (LN. 1973 No. 59) tentang Perjanjian Antara Indonesia dengan Singapura Mengenai Penetapan Garis Batas Laut Wilayah kedua negara di Selat Singapura.
5. Keppres No 24 Tahun 1978 (LN. 1978 No 37) Mengesahkan Persetujuan Antara Pemerintah RI, Pemerintah Republik India dan Pemerintah Kerajaan Thailand, Tentang Penetapan Titik Pertemuan Tiga Garis Batas dan Penetapan Garis Batas Ketiga Negara di Laut Andaman.
6. Keppres No. 6 Tahun 1980 (LN. 1980 No. 3) tentang Pengesahan Persetujuan Dasar Antara RI dan PNG tentang Pengaturan-Pengaturan Perbatasan Kedua Negara.
Hukum
Ketahan Nasional
Di
dalam UUD 1945 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
Mahkamah Agung beserta badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha
negara. Teori hukum memberikan tuntunan analisis bahwa struktur
penegakan hukum mengandung unsur prosedural yang memberi arah pada mekanisme
penegakan hukum dan keadilan, dan substansi penegakan hukum dan keadilan yang
memberi arah bagi kepastian hukum dan keadilan. Dengan perkataan lain
bahwa mekanisme tersebut harus mampu memberikan keadilan prosedural
dan dengan demikian kepastian hukum akan memberikan keadilan substantif.
Adalah menjadi pertanyaan apakah keadilan prosedural dan keadilan
substantif mempunyai kaitan dengan penegakan supremasi hukum. Kedua jenis
keadilan itu dengan supremasi hukum tanpaknya perlu dipersandingkan agar
memberikan gambaran konkrit mengenai posisi penegakan supremasi hukum
bagi ketahanan nasional. Pada dasarnya supremasi hukum itu
berintikan keadilan hukum. Sebelum lebih jauh menguraikan keadilan hukum,
perlu sebelumnya menguraikan jalan dimana keadilan hukum itu harus
berpijak sehingga keadilan hukum yang mana dan yang bagaimana yang dibutuhkan
bagi Indonesia.
Di dalam sejarah konstitusi Indonesia dikenal prinsip bahwa
Negara Indonesia ialahrechtsstaat yang diidentikkan dengan konsep
negara hukum dalam sistem konstitusi continental europe, yang memberikan
tekanan khusus pada kepastian hukum, persamaan, demokrasi dan pemerintahan yang
melayani kepentingan umum. Banyak juga yang berpendapat
bahwa rechtsstaatdiinterpretasikan dengan cenderung seperti yang
dimaksudkan oleh konsep rule of law yang dikembangkan di dalam
sistem konstitusi negara Anglo Saxon yang memberikan perhatian utama pada
supremasi hukum, equality before the law , dan konstitusi yang
diorientasikan pada hak-hak perseorangan. Sekalipun pandangan individualistik
mendominasi kedua sistem tersebut, namun terdapat perbedaan yang menonjol.
Diberinya peran peradilan administrasi negara sebagai ciri yang menonjol
di dalam konsep rechtsstaat karena kurangnya kepercayaan masyarakat
pada peradilan umum dan terutama perbuatan melanggar hukum yang dilakukan
pemerintah. Sementara itu di dalam sistem rule of
law tidak diberi peran sedikit pun kepada peran peradilan
administrasi negara sebagai ciri utama prinsip rule of law dan dengan
demikian memang menaruh kepercayaan besar kepada peradilan umum untuk semua
permasalahan hukum, termasuk perbuatan melanggar hukum dari pemerintah.
Dapat dilihat bahwa kesamaan penting di dalam kedua konsep tersebut di atas
adalah kecenderungan pemikiran individualistik, yang pada gilirannya
dipengaruhi oleh pemikiran liberalistik yang berujung pada ditegakkannya
keadilan individual dimana hak subyektif yang menjadi ukuran lahirnya keadilan
hukum di dalam setiap pengaturan mengenai hukum obyektif. Dibandingkan
dengan Indonesia yang di dalam UUD 1945
menganut rechtsstaat yang diidentikkan dengan negara hukum sudah
barang tentu tidak ada kecenderungan pada pemikiran individualistik. Dengan
ditempatkannya Pancasila pada pucuk piramid sistem hukum nasional sebagai
sumber dari segala sumber hukum, maka pemikiran individualistik apalagi yang
liberalistik tidak mendominasi peri kehidupan bangsa dan negara. Pancasila
mengandung ragam rechts idea atau cita hukum yang tidak hanya
individualistik akan tetapi sebaliknya mengandung idea Ketuhanan Yang
Maha Esa, persatuan dalam kontek pluralistik dan kemanusiaan yang adil dan
beradab. Kerakyatan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan cita hukum yang
menyangkut keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Karena itu sistem hukum
nasional dalam konsep negara hukum Indonesia tidak seperti yang dimaksud dalam
sistem rechtsstaat dari continental europe dan bukan
pula seperti yang dimaksud konsep rule of law dari negara Anglo
Sexon, akan tetapi konsep negara hukum Pancasila. Dari sana lah rujukan untuk
memberi warna yuridis pada keadilan hukum dalam penegakan supremasi hukum.
Bagaimana strategi
penegakan supremasi hukum yang berintikan keadilan hukum dalam konsep negara
hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Penegakan supremasi hukum bukanlah
dominasi pelaku kekuasaan kehakiman. Akan tetapi justru harus dilakukan oleh
seluruh komponen negara. Dalam studi ilmu negara di sana dipelajari mengenai
asal mula negara dan juga menyinggung komponen negara. Dalam studi ilmu
hukum tata negara di sana dipelajari juga mengenai konstitusi dan konstruksi
negara di dalam konstitusi itu. Secara umum dapat dilihat bahwa tatkala
kata negara,disebut, maka ketika itu dipahami bahwa komponen pokok dari
suatu negara adalah wilayah kedaulatan negara, pemerintahan negara, dan rakyat
negara.
Di dalam tiga komponen
pokok negara tersebut harus dilakukan penegakan supremasi hukum. Secara khusus
di dalam pemerintahan negara, terdapat tiga kekuasaan negara, yaitu kesatu,
kekuasaan legislatif yang implementasinya di Indonesia diwujudkan dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), kedua, kekuasaan eksekutif, yang di dalamnya terdapat
lembaga kepresidenan yaitu presiden dan wakil presiden, berserta para
pembantunya dalam tataran penyelenggaraan pemerintah negara, yang secara
organisatoris diimplementasikan dalam bentuk kementerian negara dan non
kementerian. Ketiga adalah kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung beserta badan peradilan yang ada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan
tata usaha negara, serta sebuah mahkamah konstitusi.
Uraian di atas menunjukkan bahwa penegakan supremasi hukum pada tataran
pelaksanaan hukum dilakukan oleh seluruh kekuasaan negara yang terbagi itu.
Penegakan supremasi hukum dalam tataran kekuasaan eksekutif harus
mengambil strategi yuridis berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam
lingkaran legal policy nya. Hal itu dilakukan untuk menghindarkan
kemungkinan terjadinya abuse of power dan perbuatan melanggar hukum
atau perbuatan melawan hukum. Legal policy sebagai kerangka
strategis bagi kekuasaan eksekutif adalah pola kinerja yang konstitusional dan
yuridis yang legistik, dan sejauh mungkin perlu dihindari kedekatannya
dengan kinerja yang serba legalistik, yang pada gilirannya akan keluar
dari legal policy sehingga yang ada hanyalah policy yang
rentan dengan kemungkinan dapat menyerempet proses kriminalisasi .
Kekuasaan kehakiman melakukan penegakan supremasi hukum melalui proses hukum
pada tiap lingkungan dalam jenjang peradilan. Tata peradilan dengan segala
kompleksitasnya berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung sebagai
pengadilan negara tertinggi dalam bidang pembinaan tehnis peradilan,
administrasi, organisasi dan finansial peradilan terhadap semua pengadilan
negara dalam lingkungan peradilan yang ada di bawahnya.
Langkah strategis
yang dilakukan oleh Mahkamah Agung beserta badan peradilan yang ada dibawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan
peradilan tata usaha negara, tidak lain dari pada yang telah digariskan
secara konstitusional, dan ketentuan undang-undang terutama mengenai segi
keadilan prosedural. Selain dari yang demikian dilakukan berbagai prinsip
kerja yudikatif secara konseptual dalam kerangka pelaksanaan kekuasaan
kehakiman sebagai upaya untuk menegakkan keadilan substantif.
Untuk menjamin dan mendukung terjaminnya
penegakan supremasi hukum pada tiap jenjang pengadilan, telah menyiapkan
Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung Republik Indonesia dan berimplikasi
langsung pada pembinaan peradilan dalam berbagai aspek tehnis hukum dan
peradilan, administrasi dan organisasi peradilan serta sistem keuangan
peradilan termasuk biaya perkara sebagai penerimaan negara bukan pajak.
Menyangkut pembinaan tehnis hukum,
dikembangkan terus secara berkelanjutan pemahaman mengenai hubungan kepastian
hukum dan keadilan. Bahwa keadilan tidak muncul sedemikian rupa tanpa melalui
kepastian hukum dan sebaliknya hanya kepastian hukum saja tindak mungkin
melahirkan keadilan. Keadilan prosedural dan keadilan substantif harus berjalan
seiring dengan garis kepastian hukum, karena kedua jenis keadilan itu tidak
mungkin dapat diberikan kepada masyarakat tanpa berpegang teguh pada kepastian
hukum. Kewenangan dalam menjalankan fungsi penegakan hukum secara institusional
yang berkait dengan pelaksanaan kekuasaan kehakiman harus berjalan di atas rel
hukum yang legistik dan karena itu harus dhindari kemungkinan bergeser ke rel
hukum yang legalistik karena rel ini berada dalam kekuasaan kehakiman. Dari
yang tergambar di atas betapa pelaksanaan fungsi penegakan hukum itu demi
kepastian hukum harus terhindar dari berbagai intervensi eksternal apalagi
intervensi politik.
Di dalam pelaksanaan
kekuasaan kehakiman, secara legistik diatur bahwa hakim yang berada pada tiap
jenjang pengadilan adalah pejabat negara pelaksana kekuasaan kehakiman. Hakim
harus memiliki pemahaman yang kuat dan konprehensif mengenai hubungan timbal
balik kepastian hukum dengan keadilan sehingga mendapat arah yang tepat dan
benar dalam menerapkan hukum. Selain dari pada itu hakim dituntut untuk
memiliki ketrampilan dalam memahami dan menafsir hukum sesuai dengan kewenangan
yang diberikan hukum sehingga pada gilirannya ia dapat menciptakan hukum
ketika berhadapan dengan kompleksitas permasalahan hukum dalam proses
peradilan sejalan dengan perkembangan kehidupan sosial kemasyarakatan.
Hal itu berkaitan dengan berbagai jenis keadilan yang ditegakkan melalui
kepastian hukum dalam proses peradilan seperti: (1) keadilan distributif yang
menekankan proporsionalitas, sementara (2) keadilan kumutatif yang menekankan
pada persamaan antara prestasi dan kontraprestasi, (3) keadilan vindikatif yang
menjatuhkan hukuman atas ganti kerugian dalam tindak pidana, (4) keadilan korektif
yang berorientasi pada pembetulan yang berusaha memberikan kompensasi atas
kerugian yang proporsional akibat dari suatu tindak pidana, Kemudian (5)
keadilan retributif yang menekankan pada hukuman yang proporsional dengan
besar kecilnya tindak pidana yang dilakukan seperti kejahatan kecil dipidana
ringan dan kejahatan besar dipidana berat dimana pola itu tidak saja berlaku di
dalam lingkungan kekuasaan kehakiman tetapi juga dapat diterapkan dalam
lingkungan kekuasaan lain.
Penegakan supremasi hukum dalam proses
peradilan sesuai dengan perkembangan hukum dan
peradilan, restorative justice atau keadilan restoratif telah menjadi
pilihan. Keadilan restoratif memusatkan perhatiannya pada kejahatan yang
menentang individu dan masyarakat dari pada negara. Korban memegang peran
penting dan dapat menerima restitusi dari pelaku pelanggaran atau
kejahatan.Dalam keadilan ini, pelaku kejahatan dan pelanggaran diwajibkan
memberikan ganti kerugian kepada korban secara proporsional. Untuk mewujudkan
keadilan restoratif, dalam bidang pidana dapat dilakukan mediasi pidana
baik dalam proses litigasi maupun non litigasi. Untuk jenis non litigasi,
secara legistik telah dilakukan melalui ketentuan undang-undang seperti yang
diatur di dalam Undang-undang yang mengatur mengenai otonomi khusus
Papua, penyelesaian sengketa secara adat di daerah-daerah yang
pernah terjadi persengketaan etnis, agama atau lainnya.
Di dalam sengketa
perdata, mediasi perdata sebagai bentuk keadilan restoratif telah
mampu menyelesaikan sengketa perdata tanpa litigasi dalam waktu yang
cepat dan biaya ringan. Dengan demikian bahwa prinsip penyelenggaraan
peradilan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan di dalam sistem
petadilan Indonesia adalah merupakan juga implementasi dari keadilan
restoratif. Dengan demikian terlihat bahwa local wisdom atau
kearifan lokal menjadi bentuk hukum yang legalistik yang diterapkan
melaui keadilan restoratif sehingga bukan saja memberikan keadilan
hukum atau legal justice tetapi juga sekaligus memberikan social
justice dan kepuasan yuridis maupun kepuasan sosial.
4.Implementasi
Politik dan Strategi Nasional di Berbagai Bidang
Implementasi politik dan strategi nasional di bidang hukum:
1.
Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya
kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya
negara hukum.
2.
Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui
dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui
perundang–undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif,
termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaianya dengan reformasi melalui
program legalisasi.
3.
Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah dan terbuka,
serta bebas korupsi dan nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan
dan kebenaran.
4.
Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan perlindungan.
Penghormatan dan penegakan hak asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan.
5.
Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak
asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas.
Implemetasi politk
strategi nasional dibidang ekonomi :
1.
Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar
yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat dan memperhatikan pertumbuhan
ekonomi, nilai–nilai keadilan, kepentingan sosial, kualitas hidup, pembangunan
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sehingga terjamin kesempatan yang sama
dalam berusaha dan bekerja, perlindungan hak–hak konsumen, serta perlakuan yang
adil bagi seluruh rakyat.
2.
Mengembangkan persaingan yang sehat dan adil serta menghindarkan terjadinya
struktur pasar monopolistik dan berbagai struktur pasar distortif, yang
merugikan masyarakat.
3.
Mengoptimalkan peranan pemerintah dalam mengoreksi ketidaksempurnaan pasar
dengan menghilangkan seluruh hambatan yang menganggu mekanisme pasar, melalui
regulasi, layanan publik, subsidi dan insentif, yang dilakukan secara
transparan dan diatur undang–undang.
4.
Mengupayakan kehidupan yang layak berdasarkan atas kemanusiaan yang adil
bagi masayarakat, terutama bagi fakir miskin dan anak–anak terlantar dengan
mengembangkan sistem dan jaminan sosial melalui program pemerintah serta
menumbuhkembangkan usaha dan kreativitas masyarakat yang pendistribusiannya
dilakukan dengan birokrasi efektif dan efisien serta ditetapkan dengan
undang–undang.
5.
Mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai kemajuan
teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan
komperatif sebagai negara maritim dan agraris sesuai kompetensi dan produk
unggulan di setiap daerah, terutama pertanian dalam arti luas, kehutanan,
kelautan, pertambangan, pariwisata, serta industri kecil dan kerajinan rakyat.
6.
Mengelola kebijakan makro dan mikro ekonomi secara terkoordinasi dan
sinergis guna menentukan tingkat suku bunga wajar, tingkat inflasi terkendali,
tingkat kurs rupiah yang stabil dan realitis, menyediakan kebutuhan pokok
terutama perumahan dan pangan rakyat, menyediakan fasilitas publik yang memadai
dan harga terjangkau, serta memperlancar perizinan yang transparan, mudah,
murah, dan cepat.
Implementasi politik
strategi nasional di bidang politik :
1.
Memperkuat keberadaan dan kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang bertumpu pada kebhinekatunggalikaan. Untuk menyelesaikan masalah–masalah
yang mendesak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, perlu
upaya rekonsiliasi nasional yang diatur dengan undang–undang.
2.
Menyempurnakan Undang–Undang Dasar 1945 sejalan dengan perkembangan
kebutuhan bangsa, dinamika dan tuntutan reformasi, dengan tetap memelihara
kesatuan dan persatuan bengsa, serta sesuai dengan jiwa dan semangat Pembukaan
Undang–Undang Dasar 1945.
3.
Meningkatkan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan lembaga–lembaga
tinggi negara lainnya dengan menegaskan fungsi, wewenang dan tanggung jawab
yang mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan dan tata hubungan yang jelas
antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
4.
Mengembangkan sistem politik nasional yang berkedudukan rakyat demokratis
dan terbuka, mengembangkan kehidupan kepartaian yang menghormati keberagaman
aspirasi politik, serta mengembangkan sistem dan penyelengaraan pemilu yang
demokratis dengan menyempurnakan berbagai peraturan perundang–undangan dibidang
politik.
Secara umum Pembangunan Daerah adalah sebagai berikut :
·
Mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab dalam
rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga
hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat, serta
seluruh masayrakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
·
Melakukan pengkajian tentang berlakunya otonomi daerah bagi daerah
propinsi, daerah kabupaten, daerah kota dan desa.
·
Mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kuat dengan
memberdayakan pelaku dan potensi ekonomi daerah serta memperhatikan penataan
ruang, baik fisik maupun sosial sehingga terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi
sejalan dengan pelaksanaan ekonomi daerah.
·
Mempercepat pembangunan pedesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat
terutama petani dan nelayan melalui penyediaan prasarana, pembangunan sistem
agribisnis, indutri kecil dan kerajinan rakyat, pengembangan kelembagaan
penguasaan teknologi, dan pemanfaatan sumber daya alam.
·
Mewujudkan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah secara adil dengan
mengutamakan kepentingan daerah yang lebih luas melalui desentralisasi
perizinan dan investasi serta pengelolaan sumber daya.
·
Memberdayakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka melaksanakan
fungsi dan perannya guna memantapkan penyelenggaraan otonomi daerah yang luas,
nyata dan bertanggung jawab.
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup :
·
Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat
bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi.
·
Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup
dengan melakukan konservasi, rehabilitasi, dan penghematan penggunaan, dengan
menerapkan teknologi ramah lingkungan.
·
Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan
pemeliharaan lingkungan sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga, yang diatur
dengan undang–undang.
·
Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar–besarnya kemakmuran rakyat
dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,
pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat
lokal, serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang–undang.
·
Menerapkan indikator–indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan
pembaharuan dalam pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk
mencegah kerusakan yang tidak dapat balik.
Implementasi di bidang pertahanan dan keamanan :
·
Menata Tentara Nasional Indonesia sesuai paradigma baru secara konsisten
melalui reposisi, redefinisi, dan reaktualisasi peran Tentara Nasional
Indonesia sebagai alat negara untuk melindungi, memelihara dan mempertahankan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap ancaman dari luar dan
dalam negeri, dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan memberikan darma
baktinya dalam membantu menyelenggarakan pembangunan.
·
Mengembangkan kemampuan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta yang
bertumpu pada kekuatan rakyat dengan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian
Negara Repuiblik Indonesia sebagai kekuatan utama didukung komponen lainnya
dari kekuatan pertahanan dan keamanan negara dengan meningkatkan kesadaran bela
negara melalui wajib latih dan membangun kondisi juang, serta mewujudkan
kebersamaan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan rakyat.
·
Meningkatkan kualitas keprofesionalan Tentara Nasional Indonesia,
meningkatkan rasio kekuatan komponen utama serta mengembangkan kekuatan
pertahanan keamanan negara ke wilayah yang di dukung dengan sarana, prasarana,
dan anggaran yang memadai.
Negara Hukum Indonesia sudah berdiri
sejak lebih dari enampuluh tahun lamanya kualifikasi sebagai Negara hukum pada
tahun 1945 terbaca dalam penjelasan Undang-undang Dasar. Dalam penjelasan
mengenai sistem pemerintahan Negara dikatakan “Indonesia ialah Negara yang
berdasar atas hukum (rechsstaat)”. Selanjutnya dijelaskan, “Negara
Indonesia berdasar atas hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka.” Sekian
puluh tahun kemudian konsep tersebut lebih dipertegas melalui amandemen keempat
dan dimasukkan ke dalam batang tubuh konstitusi, yaitu bab I tentang “Bentuk
dan Kedaulatan”. Dalam pasal 1 ayat 3 ditulis “Negara Indonesia adalah Negara
hukum”.
Dari amandemen-amandemen dibuktikan secara jelas, Undang-undang Dasar Negara
Indonesia tidak statis, melainkan memiliki dinamika. Amandemen keempat tersebut
dapat dibaca sebagai keinginan bangsa Indonesia untuk lebih mempertegas
identitas negaranya sebagai suatu Negara hukum[1].
Negara hukum di Indonesia berjalan bersamaan dengan prinsip demokrasi ia
terbukti dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 2 bahwa “Kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-undang Dasar”. Hal
ini membuktikan bahwa selain sebagai Negara Hukum Indonesia juga menganut
Negara demokrasi. Kedua konsep Negara tersebut berjalan bersama di Negara
Indonesia sebagai sistem pemerintahan yang ideal. Dimana masyarakat yang
mengatur hukum tersebut dan masyarakat pula yang tunduk dalam peraturan hukum
yang mereka rancang.
Pada dasarnya dalam negara demokrasi, konsep Negara hukum merupakan suatu hal
mutlak, ia dibutuhkan demi menyelaraskan keadilan dalam kebebasan berdemokrasi.
Penyelenggaraan-penyelenggaraan politik perlu diatur sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang jelas. Hukum adalah pilar dalam mengawal Negara
demokrasi.
Penyelenggaraan
hak-hak politik dalam demokrasi pada dasarnya menimbulkan gagasan bahwa cara
yang terbaik untuk membatasi kekuasaaan pemerintah ialah dengan suatu
konstitusi, apakah ia bersifat naskah (written constitution) atau tak
bersifat naskah (unwritten constitution). Undang-undang Dasar itu
menjamin hak-hak politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan Negara
sedemikian rupa, sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan parlemen
dan lembaga-lembaga hukum. Gagasan-gagasan ini dinamakan konstitusionalisme
(constitusionalism)sedangkan Negara yang menganut gagasan ini
dinamakan constitusional state atau rechtsstaatyaitu
Negara Hukum.
Dalam gagasan konstitusionalisme tidak hanya mengandung pemisahan antara
kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif semata namun ia mempunya fungsi
khusus, yaitu menentukan dan membatasi kekuasaan pemerintah di satu pihak dan
di pihak lain menjamin hak-hak asasi dari warga negaranya. Undang-undang Dasar
dianggap sebagai perwujudan hukum yang tertinggi yang harus dipatuhi oleh
Negara dan pejabat-pejabat pemerintah sekalipun, sesuai dengan dalil : “government
by laws, not by men” (pemerintahan berdasarkan hukum, bukan oleh
manusia)[2]
Maka dari itu, disini
saya akan membahas lebih lanjut mengenai berbagai konsep yang diberikan oleh
para ahli dalam membentuk Negara hukum yang sebenarnya, membentuk suatu
kedaulatan dimana hukum menjadi pilar utama dalam menyelenggarakan pemerintahan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejarah Pemikiran Negara Hukum
Munculnya konsep teori Negara hukum tidak lepas dari pemikiran-pemikiran
sebelumnya yakni di masa sejarah dahulu ketika zaman Yunani kuno. Pemikir
pertama mengenai Negara hukum sebenarnya sudah sangat lama. Cita Negara hukum
untuk pertama sekali dikemukakan oleh Plato yang diungkapkan dalam tiga bukunya
yakni pertama politeia (the republica) yang
ditulisnya ketika ia masih muda; kedua, Politicos (stateman); dan
ketiga Nomoi (the law). Dalam buku-bukunya tersebut dia sudah
menganggap adanya hukum untuk mengatur warga Negara. Sehingga ia menyatakan
bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik ialah yang diatur oleh hukum.
Pemikiran dari Plato kemudian dilanjutkan oleh muridnya yakni Aristoteles. Ia
menyatakan ada tiga unsur dari pemerintahan berkonstitusi yakni pertama,
pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua pemerintahan
dilaksanakan menurut hukum yang berdasar ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum
yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi;
ketiga pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas
kehendak rakyat bukan atas paksaan-tekanan[3].
Aristoteles juga merumuskan Negara sebagai Negara hukum yang didalamnya
terdapat sejumlah warganegara yang ikut serta dalam permusyawaratan Negara (Acclesia).
Yang dimaksudkan dengan Negara hukum disini oleh aristoteles adalah Negara yang
berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan bagi warganegaranya. Keadilan
merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warganegara dan
sebagai dasar daripada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap
manusia agar ia menjadi warganegara yang baik. Peraturan sebenarnya
menurut Aristoteles ialah peraturan yang mencerminakan keadilan bagi pergaulan
antara warganegaranya. Maka menurutnya yang memerintah dalam Negara bukanlah
manusia melainkan pikiran yang adil yang tertuang dalam peraturan hukum sedangkan
penguasa hhanya memengang hukum dan keseimbangan saja.[4]
Pemikiran awal pada zaman yunani kuno ini memang masih merupakan konsep awal
bagaimana membentuk Negara yang seharusnya. Pemikiran tersebut masih terlalu
ideal dan umum maka tidak memberikan mekanisme secara rigid dalam mengembangkan
konsep Negara hukum. Hal ini tidak terlepas karena pada saat zaman yunani kuno
Negara yang dimaksud masih merupakan sebuah polis yakni kota-kota kecil
sehingga pengaturan masyarakat di zaman itu belum memberikan persoalan yang
kompleks seperti pada saat ini.
Kedaulatan Hukum
Sebelum kita memahami mengenai konsep Negara hukum maka terlebih dahulu dapat
kita pahami bahwa dasar berpikir dari konsep Negara hukum sangat erat kaitannya
dengan pemikiran-pemikiran yang menganggap bahwa kedaulatan Negara itu berada
pada hukum. Menurut teori kedaulatan hukum atau Rechts-souvereiniteit yang
merupakan kekuasaan tertinggi di dalam suatu Negara itu adalah hukum itu
sendiri. Karena baik raja atau penguasa maupun rakyat atau warganegara, bahkan
Negara itu sendiri semuanya tunduk kepada hukum. Semua sikap, tingkah laku dan
perbuatannya harus sesuai atau menurut hukum. Menurut Krabbe hukum itu adalah
merupakan penjelmaan daripada salah satu bagian dari perasaan manusia[5].
Bentuk kedaulatan hukum dalam kehidupan bernegara merupakan suatu kebutuhan
yang mendasar. Hukum sebagai aturan dasar dimana terdapat rambu-rambu dan
arahan bagaimana masyarakat, pemimpin Negara, dan berbagai organ Negara
seharusnya dapat bertindak dan bekerja. Hukum disini sebagai pengawal kehidupan
bernegara, ia hidup dan dibangun berdasarkan suatucontract social masyarakat
dimana mereka membuat aturan-aturan yang seharusnya ditaati. Disana tersimpan
harapan dan cita-cita masyarakat mengenai apa yang seharusnya dan apa yang
tidak seharusnya dilakukan dalam kehidupan bernegara. Krabe mengemukakan
“Negara sebagai pencipta dan penegak hukum di dalam segala kegiatannya harus
tunduk pada hukum yang berlaku. Dalam arti ini hukkum membawahkan Negara.
Berdasarkan pengertian hukum itu bersumber dari kesadaran hukum rakyat, maka
hukum mempunyai wibawa yang tidak berkaitan dengan seseorang secara
(impersonal)”.[6]
Wujud teori kedaulatan hukum merupakan dasar pemikiran awal dimana Negara
selayaknya memiliki kedaulatan hukum yang kuat. Maka pemikiran dasar dari teori
kedaulatan hukum ini memunculkan berbagai konsep-konsep Negara hukum yang lebih
modern.
ABAD XIX
Di abad XIX freidrich Julius Stahl (eropa continental dengan civil law
system) merumuskan unsur-unsur Negara hukum (rechsstaat) yang banyak
diilhami oleh Immanuel Kant, sebagai berikut:
1. Perlindungan HAM
2. Pemisahan atau
pembagian kekuasaan demi jaminan hak itu
3. Pemerintahan
berdasarkan peraturan perundang-undangan
4. Peradilan administrasi
dalam perselisihan
Kemudian pada saat
yang hampir sama muncul pula konsep Negara hukum (rule of law) dari A.V.
Dicey, yang lahir dalam naungan sistem hukum anglo saxon.
1. Supremasi hukum (tidak
ada kesewenang-wenangan atau seseorang hanya dapat dihukum jika melanggar
hukum)
2. Kedudukan yang sama di
depan hukum (equality before the law)
Terdapat perbadaan
konsep antara keduanya Freidrich Julius Stahl merupakan sarjana yang berasal
dari Negara dengan sistem civil law dan A.V. Dicey merupakan
sarjana dengan pemikiran yang berasal dari Anglo saxon. Keduanya berada di dua
kutub hukum yang berbeda namun terdapat suatu kesamaan, dimana penjabaran
prinsip-prinsip dari konsep Negara hukum, keduanya sepakat bahwa ia harus dapat
menjamin Hak Asasi Manusia dan mewujudkan suatu supremasi hukum yang kuat.
Sehingga pada akhirnya konsep Negara hukum tidak hanya menjadi pandangan ideal
semata melainkan ia dapat terwujud dengan menjamin kedaulatan hukum dan
perlindungan hak-hak atas manusia.
Nomokrasi Islam
Selanjutnya dalam agama Islam, terdapat konsep Negara hukum yang dirumuskan
oleh Prof. Dr. Tahir Azhari S.H. dimana beliau merumuskan menjadi Sembilan
prinsip-prinsip dasar Nomokrasi Islam atau Negara hukum.
Nomokrasi Islam adalah suatu Negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip umum
sebagai berikut:
1. Prinsip kekuasaan
sebagai amanah
2. Prinsip musyawarah
(musyawarat)
3. Prinsip keadilan
4. Prinsip persamaan
5. Prinsip pengakuan dan
perlindungan setiap hak-hak asasi manusia
6. Prinsip peradilan
bebas
7. Prinsip perdamaian
8. Prinsip kesejahteraan
Kesembilan pokok
prinsip tersebut tercantum dalam Al-Qur’an dan diterapkan oleh Sunnah
Rasulullah. Kesembilan prinsip tersebut terwujud dalam pemerintahan Nabi
Muhammad SAW di kota Madinah, yang kemudian membentuk suatu konstitusi tertulis
pertama di dunia yang terwujud dalam Piagam Madinah.
Suatu konsep yang
berbeda dengan anggapan bahwa konsep Negara Islam adalah Negara Teokrasi yakni
Negara berdasarkan atas kekuasaan Tuhan. Melainkan di dalamnya terdapat
prinsip-prinsip Negara hukum yang dapat dipelajari sebagai konsep untuk
mengimplemtasikannya pada pemerintahan saat ini.
Indonesia Sebagai Negara Hukum
Sebagai Negara yang lahir pada zaman modern, maka Indonesia juga menyatakan
diri sebagai Negara hukum. Indonesia membentuk suatu dasar pemerintahannya
berdasarkan kedaulatan hukum seperti yang dijelaskan pada uraian di atas.
Konsep-konsep pemikiran barat dan Islam juga memiliki pengaruh dalam konsep
Negara hukum yang diterapkan di Indonesia. Ketentuan Indonesia sebagai
Negara hukum ini dapat dilihat dalam pembukaan, batang tubuh dan penjelasan UUD
1945.
1. Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945 memuat dalam alinea pertama kata “peri-keadilan”,
dalam alinea kedua istilah “adil”, serta dalam alinea keempat
perkataan-perkataan “keadilan sosial” dan kemanusiaan yang adil”, semua
istilah-istilah ini berindikasi pada pengertian Negara hukum karena bukankah
salah satu tujuan hukum itu mencapai keadilan. Kemudian dalam pembukaan UUD 45
alinea keempat ditegaskan “….maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia”. Penganutan pahan
konstitusionalisme atau sistem konstitusional, merupakan prinsip lebih khusus
dari pada prinsip Negara hokum
2. Batang tubuh
Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum
(pasal 1 ayat 3), kemudian “presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintah menurut Undang-undang Dasar (pasal 4). Ketentuan ini berarti bahwa
presiden dalam menjalankan tugasnya harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang
sudah ditetapkan dalam UUD.
3. Penjelasa UUD 1945,
yang merupakan penjelasan otentik dan menurut hukum tata Negara Indonesia
mempunyai nilai yuridis, dengan huruf besar menyebutkan: “Negara Indonesia
berdasarkan hukum (rechsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat).
Ketentuan terakhir ini memperjelas, apa yang secara tersirat dan tersurat telah
dinyatakan dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945.
Dari perumusan dalam
Undang-undang Dasar tersebut jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan
Undang-undang Dasar 1945 menganut prinsip-prinsip Negara hukum yang umum
berlaku.
Prinsip bahwa
Indonesia suatu Negara yang berdasarkan atas hukum dapat dikemukakan dua
pemikiran yaitu:
Pertama, bahwa kekuasaan
tertinggi di dalam Negara Indonesia adalah hukum yang dibuat oleh rakyat
melalui wakil-wakilnya dalam lembaga legislatif. Jadi, suatu kedaulatan hukum
sebagai penjelmaan lebih lanjut dari paham kedaulatan rakyat. Pemikiran kedua ialah
bahwa sistem pemerintahan Negara memerlukan kekuasaan (power/macht)
namun tidak ada suatu kekuasaan pun di Indonesia yang berdasarkan atas hukum.
Sjachran Basah dalam
kaitan apa yang dikemukakan di atas berpendapat:
“arti Negara hukum tidak terpisahkan
dari pilarnya sendiri, yaitu paham kedaulatan hukum. Paham kedaulatan hukum.
Paham itu adalah ajaran yang menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi terletak pada
hukum atau tiada kekuasaan lain apapun, terkecuali kekuasaan hukum semata yang
dalam hal ini bersumber pada pancasila selaku sumber dari segala sumber hukum……
kemudian hal di atas itu dikontradiktifkan dan dipisahkan secara tegas antara
Negara hukum pada satu pihak dan Negara kekuasaan pada pihak lain yang dapat
menjelma seperti dalam bentuk diktator, atau bentuk lainnya semacam, yang tidak
dikehendaki apabila dilaksanakan di persada pertiwi ini.”
Pada akhirnya dengan menggaris bawahi prinsip Indonesia adalah Negara yang
berdasarkan atas hukum maka konstitusi kita UUD 1945 telah menempatkan hukum
dalam posisi yang supreme dan menentukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia[9]
Negara Hukum dan Demokrasi Indonesia
Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar” dan Negara Indonesia
adalah Negara Hukum” dalam kedua aturan tersebut terdapat dua ketentuan yakni
kedaulatan berada di tangan rakyat dan konsep Negara hukum. Dalam pengertian
modern, Negara hukum itu tidak lain adalah Negara konstitusional atau constitutional
state.
Dengan demokrasi, ruang kebebasan dibuka lebar, tetapi kebebasan itu memerlukan
aturan, sehingga dapat terselenggara dengan teratur. Karena itu peranan hukum
sangat menentukan dan bahkan berfungsi sebagai pengimbang terhadap kebebasan.
Dengan dasar pemikiran itulah maka pengertian demokrasi tidak dapat dipisahkan
dan bahkan harus dipandang berpasangan dengan konsep Negara hukum, rechsstaat.
Sebaliknya Negara hukum rechsstaat atau the rule
of law itu sendiri yang ideal ialah Negara hukum yang demokratis (democratische
reachtsstaat). Suatu Negara hukum dapat saja dibangun tanpa dasar
demokrasi , tetapi apabila hukum yang ditegakkan itu tidak dibuat berdasarkan
prinsip-prinsip dalam demokrasi, maka Negara hukum yang demikian bukanlah
Negara hukum yang demokratis.
Dengan demikian maka terdapat hubungan yang sangat kuat antara demokrasi dan
Negara hukum. Keduanya menyatu dalam konsepsi UUD 45 mengenai kedaulatan Negara
atau kekuasaan tertinggi dalam Negara Republik Indonesia. Keseimbangan dan
hubungan saling melengkapi di antara keduanya adalah sangat penting untuk
menjamin agar gagasan Negara hukum dan demokrasi itu membuahkan hasil yang
sebaik-baiknya berupa kebebasan (freedom), keadilan (justice),
dan kesejahteraan (prosperity).[10]
Kesimpulan
Konsep Negara hukum merupakan suatu bentuk Negara yang berdasarkan atas
kedaulatan hukum. Hukum/peraturan memiliki kedaulatan tertinggi dalam
pemerintahan. masyarakat maupun pemerintah tunduk kepada hukum itu sendiri.
Terdapat sebuah pendapat yang mengatakan bahwa “segala yang dilakukan oleh
pemerintah itu dilarang sampai terdapat hukum yang memberinya kewenangan dan
segala yang dilakukan oleh masyarakat itu boleh dilakukan sampai terdapat hukum
yang melarang melakukan sesuatu”. Pendapat tersebut merupakan suatu pandangan
bahwa baik pemerintah atau Negara dan masyarakat tunduk terhadap hukum.
Hukum tercipta bukan semata-mata untuk kepentingan penguasa atau orang-orang
tertentu saja namun ia harus tercipta atas tujuan kemanfaatan, keadilan, dan
penegakkan hukum yakni dengan memberikan kebaikan bagi seluruh masyarakat
Indonesia. Hukum harus memberikan tujuan tersebut baik secara moral,
kesusilaan, ajaran agama, dan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum di Negara
Indonesia tidak akan mungkin dapat tercipta bertentangan dengan nilai-nilai
ajaran agama dan adat kebangsaan Indonesia. Keduanya kerap mempengaruhi
peraturan-peraturan hukum yang ada di Indonesia.
Bentuk Negara hukum yang ada di Indonesia nyata tercantum dalam peraturan
konstitusi Undang-undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 2 disebutkan “kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”, pada
butir tersebut dimaksudkan bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan
demokrasi yang mana kedaulatan berada di tangan rakyat, tetapi ada
aturan-aturan tegas di dalamnya yakni Undang-undang Dasar. Sehingga sekalipun
kedaulatan adalah milik rakyat tetapi proses pelaksanaannya diatur berdasarkan
nilai-nilai dan aturan-aturan hukum dalam konstitusi UUD 45.
Terdapat kesenimbangan hubungan antara konsep Negara hukum dan konsep Negara
demokrasi, sebuah teori kedaulatan hukum dan rakyat. Kedua konsep ini
diterapkan secara bersamaan di Negara Indonesia. Hal ini tercantum dalam pasal
di 1 ayat 2 konstitusi seperti penjelasan di atas. Bahwa Negara Indonesia
menganut kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat. Memang pada dasarnya kedua
konsep ini tidaklah saling bertentangan, melainkan keduanya saling mengisi
dimana tidak mungkin tercipta suatu Negara hukum tanpa adanya kedaulatan rakyat
di dalamnya. Begitu pula dengan konsep Negara demokrasi, konsep tersebut tidak
akan dapat berjalan dengan efektif tanpa adanya supremasi hukum yang kuat di
dalamnya. Konsep pemikiran ini bukanlah suatu hal yang baru. Pandangan mengenai
Negara hukum dan demokrasi saling mengisi dalam unsur-unsur dan penjabaran
cirri-ciri kedua konsep tersebut. Maka lebih tepatnya Hukum adalah pilar bagi
demokrasi, begitu pula dengan Negara hukum, ia tidak akan berjalan baik tanpa
adanya partisipasi rakyat dalam merancang hukum yang sesuai dengan masyarakat
yang diatur.
pada pasal 1 ayat 3 UUD 45 disebutkan juga bahwa “Negara Indonesia adalah
Negara hukum” tambahan ayat ini merupakan hasil dari amandemen ke-3 yang
menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum (Rechstaat). Negara yang
memiliki aturan-aturan dan kedaulatan hukum yang kuat untuk mengatur kehidupan
berbangsa dan bernegara. Negara hukum sangat erat dengan kaitannya dengan rule
of law, aturan hukum sehingga tidak boleh ada kekuatan lain yang
berada di atas hukum itu sendiri demi tercapainya suatu tertib hukum bagi
seluruh masyarakat Indonesia.
Negara hukum adalah konsep bernegara yang ideal, apalagi jika disandangkan
dengan Negara demokrasi. keduanya dapat memberikan kemaslahatan bagi rakyat
Indonesia sepanjang dijalankan sesuai dengan seharusnya. Negara Indonesia
menganut kedua konsep tersebut, yakni antara konsep Negara hukum dan demokrasi.
Meskipun konsep Negara hukum menjadi dasar dalam pemerintahan Indonesia namun
praktik dari implementasi ini masih belum terwujud dengan baik. Bentuk-bentuk
lemahnya supremasi hukum, ketidakbermanfaatan hukum, hukum tidak mewakili rasa
keadilan masyarakat, hingga maraknya tindakan anarkis dan main hakim sendiri di
masyarakat Indonesia adalah wujud dari buruknya implementasi pemerintah dalam
menerapkan konsep Negara hukum. Konsep Negara hukum hanya menjadi retorika dan
idealisme semata, tidak dapat diimplementasikan dengan seharusnya. Hal ini
merupakan tugas besar bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia. Negara hukum
jangan hanya menjadi suatu aturan yang tidak dijalankan namun ia harus dapat
dijalankan baik oleh masyarakat dan pemerintah. Demi terciptanya suatu
masyarakat yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia.
Refrensi :
Buku
Pintar Penataran P4, Tanpa Tahun, Departemen Kehakiman Repbulik Indonesia.
Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat, Prof. Dr.
Satjipto Rahardjo, S.H, Gentapublishing, 2009
Dasar-dasar ilmu politik, Prof Miriam Budiarjo,
Gramedia, 1998
Negara Hukum Indonesia, Azhary, hal 19-21, UI Press
1995
Ilmu Negara, Moh, Kusnardi, SH, Prof. Dr. Bintarn R.
Saragih, MA, Gaya media pratama, 2008
lmu Negara, Soehino,S.H hal 156, Penerbit Liberty
Yogyakarta
Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi
Manusia, Hestu Cipto Handoyo, SH. M.Hum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003
Hukum Tata Negara I, Narainuun Mangungsong, SH, M.Hum,
2010
Negara Hukum, Prof. Dr. H. Tahir Azhary, SH. Kencana
prenada, 2007
Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Drs. H. Nukhthoh
Arfawie Kurde S.H., M.Hum, Pustaka Pelajar, 2005
Konstitusi Ekonomi, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.,
Buku Kompas, 2010
Langganan:
Postingan (Atom)