Makalah
Hukum
Di
Susun Oleh:
Nama : Hernanda Bani Permana
NPM : 18211984
Kelas : 2EA27
Dosen : Sri Waluyo
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur saya
panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan limpahan
rahmatnyalah maka saya boleh menyelesaikan sebuah karya tulis dengan tepat
waktu.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "HUKUM", yang mmenurut saya dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari sejarah hukum.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat atau menyinggu perasaan pembaca.
Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "HUKUM", yang mmenurut saya dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari sejarah hukum.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat atau menyinggu perasaan pembaca.
Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.
Bekasi 23,05,2013
Hernanda Bani P
I.I PENDAHULUAN
Ketika bicara hukum di Indonesia, barangkali masyarakat sudah bosan dan lelah menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini. Sudah banyak issue-issue miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa maupun hakim. Sudah banyak tuduhan-tuduhan yang telah disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tentang banyaknya para koruptor penjarah uang rakyat milyaran dan bahkan triyulnan rupiah dibebaskan oleh pengadilan. Dan kalaupun dihukum hanya sebanding dengan hukuman pencuri ayam. Dengan mata telanjang dapat disaksikan bahwa orang miskin akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang berduit akan begitu mudah mendapatkan keadilan. Bukan rahasia lagi, bahwa dalam proses peradilan perkara pidana bila ingin mendapat keringanan atau bahkan bebas dari jeratan hukum harus menyediakan uang, begitu juga para pihak dalam perkara perdata, bila ingin memenangkan perkara maka harus menyediakan sejumlah uang. Dengan kata lain bahwa putusan pengadilan dapat dibeli dengan uang, karena yang menjadi parameter untuk keringanan hukuman dalam perkara pidana dan menang kalahnya dalam perkara perdata lebih kepada pertimbangan berapa jumlah uang untuk itu daripada pertimbangan hukum yang bersandar pada keadilan dan kebenaran.
Dalam situasi yang serba extra ordinary dimana bangsa dan negara kita ini sulit untuk keluar dari tekanan krisis di segala bidang kehidupan tidak tertutup kemungkinan bangsa Indonesia akan tambah terperosok ke jurang nestapa yang semakin dalam dan menyeramkan, maka situasi mencekam seperti ini tidak ayal hukum menjadi institusi yang banyak menuai kritik karena dianggap tidak becus untuk memberikan jawaban yang prospektif. Pasca tumbangnya pemerintahan otoriter tahun 1998, hamper setiap saat dibumi pertiwi ini lahir peraturan perundang-undangan untuk mengatur dan menjawab problematika kehidupan di Negara ini, sehingga keberadaan bangka kita ini dalam kondisi hiperregulated society. Namun, dengan segudang peraturan perundang-undangan, baik menyangkut bidang kelembagaan maupun sisi kegidupan manusia Indonesia, keteraturan (order) tidak kunjung datang. Malahan hukum kita tampak kewelahan, yang akibatnya dengan seabrek peraturan perundang-undangan itu dalam ranah penegakan hukum justru malah menerbitkan persoalan-persoalan baru ketimbang menuntaskannya. Hal ini menurut Satjipto Rahardjo, komunitas hukum dianggap sebagai komunitas yang sangat lamban dalam menangkap momentum.
Sejak tumbangnya pemerintahan otoriter 1998 yang selanjutnya disebut sebagai era reformasi, sebenarnya merupakan momentum paling penting dan strategis dari segi kehidupan social dan hukum, namun kondisi ini tidak mampu menggerakkan untuk mengambil manfaat dalam ranah perbaikan. Institusi yang dijadikan tumpuan pembebasan dan pencerahan, justru menjadi sarang troble maker bangsa. Dampaknya kehidupan hukum menjadi tidak terarah dan terpuruk. Dalam situasi keterpurukan hukum seperti ini, maka apapun uapya pembenahan dan perbaikan dibidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya niscaya merupakan suatu yang musykil dilakukan (mission impossible) . Hal ini apabila dicermati , minimal terdapat dua faktor utama. Pertama, perilaku penegak hukum (professional jurist) yang koruptif dan yang kedua, pola pikir para penegak hukum Indonesia sebagian besar masih terkungkung dalam pikiran legalistic-positivistik, meskipun system kelembagaan hukum telah ditabuh ke arah perubahan-perubahan namun paradigma para penegak hukum masih berpola lama (orde baru).
Bahwa dalam harian Kompas tanggal 31 Mei tahun 2002, halaman 27 ditulis, panggung peradilan Indonesia…., dikepung oleh pelbagai hal yang sangat rawan dengan urusan KKN…, dan hedoisme…, uang yang bersileweran-pun bukan alang kepalang jumlahnya. Dalam harian yang sama pada halaman 4 seorang Denny Indrayana mengatakan “sebenarnya persoalan perilaku jurist itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Namun yang berlangsung di Indonesia sungguh sudah keterlaluan.
Selanjutnya ketika dikaji dari sisi penegakan hukum yang legal-positivistik, menurut Anis Ibrahim, rasanya kita sudah lebih dari cukup memiliki peraturan hukum yang dapat digunakan sebagai garansi kepastian dan keadilan bagi mereka yang sedang berurusan dengan hukum, Namun, sungguh sangat sulit mendapatkan data yang menggembirakan tentang keadilan yang muncul dari hukum. Misalnya, Indonesia telah menyatakan korupsi merupakan extra ordinary, dan karenanya dinyatakan Negara Indonesia berada dalam keadaan darurat korupsi. Hal ini, melahirkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU nomor 20/2001 yang mengubah UU Nomor 31/1999). Dan karena Kejaksaan dan Kepolisian dianggap tidak mampu menangani korupsi kelas kakap, maka lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan luar biasa untuk melakukan pemberantasan korupsi. Namun pemberantasan korupsi yang dilakukan hanya sebatas popularitas, asal sikat dan sering salah sasaran. Hal ini terbutki, koruptor kelas kakap yang menjarah BLBI trilyunan rupiah nyaris belum tersentuh. Ironisnya menurut Anis Ibrahim, seandainya ada yang dibawa ke pengadilan terdapat dua kemungkinan putusan, jika tidak dibebaskan dengan dalih kekurangan alat bukti, bisa jadi vonisnya tidak jauh dari putusan penjahat sekelas preman jalanan.
Ketika bicara hukum di Indonesia, barangkali masyarakat sudah bosan dan lelah menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini. Sudah banyak issue-issue miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa maupun hakim. Sudah banyak tuduhan-tuduhan yang telah disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tentang banyaknya para koruptor penjarah uang rakyat milyaran dan bahkan triyulnan rupiah dibebaskan oleh pengadilan. Dan kalaupun dihukum hanya sebanding dengan hukuman pencuri ayam. Dengan mata telanjang dapat disaksikan bahwa orang miskin akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang berduit akan begitu mudah mendapatkan keadilan. Bukan rahasia lagi, bahwa dalam proses peradilan perkara pidana bila ingin mendapat keringanan atau bahkan bebas dari jeratan hukum harus menyediakan uang, begitu juga para pihak dalam perkara perdata, bila ingin memenangkan perkara maka harus menyediakan sejumlah uang. Dengan kata lain bahwa putusan pengadilan dapat dibeli dengan uang, karena yang menjadi parameter untuk keringanan hukuman dalam perkara pidana dan menang kalahnya dalam perkara perdata lebih kepada pertimbangan berapa jumlah uang untuk itu daripada pertimbangan hukum yang bersandar pada keadilan dan kebenaran.
Dalam situasi yang serba extra ordinary dimana bangsa dan negara kita ini sulit untuk keluar dari tekanan krisis di segala bidang kehidupan tidak tertutup kemungkinan bangsa Indonesia akan tambah terperosok ke jurang nestapa yang semakin dalam dan menyeramkan, maka situasi mencekam seperti ini tidak ayal hukum menjadi institusi yang banyak menuai kritik karena dianggap tidak becus untuk memberikan jawaban yang prospektif. Pasca tumbangnya pemerintahan otoriter tahun 1998, hamper setiap saat dibumi pertiwi ini lahir peraturan perundang-undangan untuk mengatur dan menjawab problematika kehidupan di Negara ini, sehingga keberadaan bangka kita ini dalam kondisi hiperregulated society. Namun, dengan segudang peraturan perundang-undangan, baik menyangkut bidang kelembagaan maupun sisi kegidupan manusia Indonesia, keteraturan (order) tidak kunjung datang. Malahan hukum kita tampak kewelahan, yang akibatnya dengan seabrek peraturan perundang-undangan itu dalam ranah penegakan hukum justru malah menerbitkan persoalan-persoalan baru ketimbang menuntaskannya. Hal ini menurut Satjipto Rahardjo, komunitas hukum dianggap sebagai komunitas yang sangat lamban dalam menangkap momentum.
Sejak tumbangnya pemerintahan otoriter 1998 yang selanjutnya disebut sebagai era reformasi, sebenarnya merupakan momentum paling penting dan strategis dari segi kehidupan social dan hukum, namun kondisi ini tidak mampu menggerakkan untuk mengambil manfaat dalam ranah perbaikan. Institusi yang dijadikan tumpuan pembebasan dan pencerahan, justru menjadi sarang troble maker bangsa. Dampaknya kehidupan hukum menjadi tidak terarah dan terpuruk. Dalam situasi keterpurukan hukum seperti ini, maka apapun uapya pembenahan dan perbaikan dibidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya niscaya merupakan suatu yang musykil dilakukan (mission impossible) . Hal ini apabila dicermati , minimal terdapat dua faktor utama. Pertama, perilaku penegak hukum (professional jurist) yang koruptif dan yang kedua, pola pikir para penegak hukum Indonesia sebagian besar masih terkungkung dalam pikiran legalistic-positivistik, meskipun system kelembagaan hukum telah ditabuh ke arah perubahan-perubahan namun paradigma para penegak hukum masih berpola lama (orde baru).
Bahwa dalam harian Kompas tanggal 31 Mei tahun 2002, halaman 27 ditulis, panggung peradilan Indonesia…., dikepung oleh pelbagai hal yang sangat rawan dengan urusan KKN…, dan hedoisme…, uang yang bersileweran-pun bukan alang kepalang jumlahnya. Dalam harian yang sama pada halaman 4 seorang Denny Indrayana mengatakan “sebenarnya persoalan perilaku jurist itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Namun yang berlangsung di Indonesia sungguh sudah keterlaluan.
Selanjutnya ketika dikaji dari sisi penegakan hukum yang legal-positivistik, menurut Anis Ibrahim, rasanya kita sudah lebih dari cukup memiliki peraturan hukum yang dapat digunakan sebagai garansi kepastian dan keadilan bagi mereka yang sedang berurusan dengan hukum, Namun, sungguh sangat sulit mendapatkan data yang menggembirakan tentang keadilan yang muncul dari hukum. Misalnya, Indonesia telah menyatakan korupsi merupakan extra ordinary, dan karenanya dinyatakan Negara Indonesia berada dalam keadaan darurat korupsi. Hal ini, melahirkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU nomor 20/2001 yang mengubah UU Nomor 31/1999). Dan karena Kejaksaan dan Kepolisian dianggap tidak mampu menangani korupsi kelas kakap, maka lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan luar biasa untuk melakukan pemberantasan korupsi. Namun pemberantasan korupsi yang dilakukan hanya sebatas popularitas, asal sikat dan sering salah sasaran. Hal ini terbutki, koruptor kelas kakap yang menjarah BLBI trilyunan rupiah nyaris belum tersentuh. Ironisnya menurut Anis Ibrahim, seandainya ada yang dibawa ke pengadilan terdapat dua kemungkinan putusan, jika tidak dibebaskan dengan dalih kekurangan alat bukti, bisa jadi vonisnya tidak jauh dari putusan penjahat sekelas preman jalanan.
I.II PERMASALAHAN
Dari latar pemikiran sebagaimana diuraikan dalam pendahuluan maka pertanyaanya adalah “bagaimana cara keluar dari keterpurukan hukum di Indonesia ini”?
I.III PEMBAHASAN
Menurut Satjipto rahardjo, sejak hukum modern semakin bertumpu pada dimensi bentuk yang menjadikannya formal dan procedural, maka sejak itu pula muncul perbedaan antara keadilan formal atau keadilan menurut hukum disatu pihak dan keadilan sejati atau keadilan substansial di pihak lain. Dengan adanya dua macam dimensi keadilan tersebut, maka kita dapat melihat bahwa dalam praktiknya hukum itu ternyata dapat digunakan untuk menyimpangi keadilan subsatansial. Penggunaan hukum yang demikian itu tidak berarti melakukan pelanggaran hukum, melainkan semata-mata menunjukkan bahwa hukum itu dapat digunakan untuk tujuan lain selain mencapai keadilan.
Dijelaskan oleh Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH., progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia dasarnya adalah baik, memiliki kasih saying serta kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting bagi membangun kehidupan berhukum dalam masyarakat. Namun apabila dramaturgi hukum menjadi buruk seperti selam ini terjadi di Negara kita, yang menjadi sasaran adalah para aparat penegak hukumnya, yakni polisi, jaksa, hakim dan advokat. Meskipun, apabila kita berfikir jernih dan berkesinambungan, tidak sepenuhnya mereka dipersalahkan dan didudukan sebagai satu-satunya terdakwa atas rusaknya wibawa hukum di Indonesia.
Memang sangat menyedihkan hati, ketika melihat kondisi hukum di Indonesia dengan segala bentuk praktisnya. Penggunaan hukum yang serba formal-prosedural dan teknikal , pada dasarnya telah banyak melupakan sisi kebenaran materiil, keadilan substansial dan kemanusiaan. Praktis-praktis hukum yang diterapkan dinegara kita, hingga kini belum mampu memberi garansi untuk mencapai harkat kemanusiaan yang berkeyakinan, kebenaran materiil dan keadilan substansial. Kepedulian terhadap hukum yang menjanjikan kebenaran, kemanusian dan keadilan menurut Satjito Raharjo, baru dapat dicapai jika kita mau keluar dari tawan-tawanan undang-undang yang serba formal procedural. Manakala menginginkan dan mempercayai hukum beserta praktiknya masih dapat dijadikan media pencerah bangsa, maka harus berani mencari agenda alternative yang sifatnya progresif.
Berfikir secara progresif, menurut Satjipto Raharjo berarti harus berani keluar dari mainstream pemikiran absolutisme hukum, kemudianmenempatkan hukum dalam posisi yang relative. Dalam hal ini, hukum harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusian. Bekerja berdasarkan pola pikir yang determinan hukum memang per;uj. Namun itu bukanlah suatu yang mutlak dilakukan manakala para ahli hukum berhadapan dengan suatu masalah yang jika menggunakan logika hukum modern akan menciderai posisi kemanusiaan dan kebenaran. Bekerja berdasarkan pola pikir hukum yang progresif (paradigma hukum progresif), barang tentu berbeda dengan paradigma hukum positivistis-praktis yang selama ini diajarkan di perguruan tinggi. Paradigma hukum progresif melihat faktor utama dalam hukum adalah manusua itu sendiri. Sebaliknya paradigma hukum peositivistis meyakini kebenaran hukum di atas manusia. Manusia boleh dimarjinalkan asal hukum tetap tegak. Sebaliknya paradigma hukum progresif berfikir bahwa justru hukum bolehlah dimarjinalkan untuk mencdukung eksistensialitas kemanusian, kebenaran dan keadilan.
Agenda utama paradigma hukum progresif adalah menempatkan manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan tentang hukum. Penerimaan faktor manusia di pusat pembicaraan hukum tersebut membawa kita untuk mempedulikan faktor perilaku (behavior, experience) manusia. Dalam bahasa Oliver W. Holmes, logika peraturan disempurnakan dengan logika pengalaman. Jika dalam filosofi paradigma hukum praktis posisi manusia adalah untuk hukum dan logika hukum, sehingga manusia dipaksa untuk dimasukkan ke dalam hukum, maka sebaliknya filosofi dalam paradigma hukum progresif adalah hukum untuk manusia. Apabila faktor kemanusiaan yang ada didalammnyua termasuk juga kebenaran dan keadilan telah enjadi titik pembahasan hukum, maka faktor etika dan moralitas dengan sendirinya akan ikut tersert masuk ke dalamnya. Membicarakan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan tidak bisa dilepaskan dari membicarakan etika dan moralitas. Jadi, dengan tegas paradigma hukum progresif menolak pendapat yang memisahkan hukum dari faktor kemanusiaan dan moralitas. Disinilah letak pembebasan dan pencerahan yang dilakukan oleh paradigma hukum progresif.
Hukum progresif mengingatkan, bahwa dinamika hukum tidak kunjung berhenti, oleh karena hukum terus menerus berada pada status membangun diri, dengan demikian terjadinya perubahan social dengan didukung oleh social engineering by law yang terencana akan mewujudkan apa yang menjadi tujuan hukum progresif yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Untuk itu, perlu mendapatkan kehidupan hukum yang berada. Dalam hal ini, menurut Prof. Dr. Muladi, SH., dibutuhkan predisposisi sebagai berikut :
1. menegakkan Rule of Law. Untuk menegakkan Rule of Law, ada empat hal yang harus dipenuhi yaitu : Government is under the law, adanya independence of yurisdiction, access to the counrt of law dan general acqual in certain application and same meaning .
2. Kedua; Democracy, prinsip-prinsip dasar demokrasi yaitu ; constitutional, chek and balance, freedom of media, judicial independence of precident, control to civil to military, protection to minoritary.
Kedua hal ini, adalah menjadi bagian dari prinsip-prinsip dari hukum progresif, dimana hukum bukan sebagai raja, tetapi alat untuk menjabarkan kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia, hukum bukan sebagai tehnologi yang tak bernurani melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusian. Pembahsan hukum tidak menyumbat pintu bagi issue manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu masalah manudia dan kemanusiaan akan terus menyertai dan ikut mengalir mnemasuki hukum. Maka hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk mengabdi dan melestarikan manusia dengan segala perbincangan tentang kebenaran dan keadilan di dalamnya.
Kontribusi terbesar dari paradigma hukum progresif adalah menjadikan para jurist untuk menjadi sososk manusia sebenar-benar manusia, bukan manusia sebagai robot/computer yang berisi software hukum. Jika demikian, apa bedanya dengan computer jika dalam praktiknya para jurist sekedar mengikuti perintah dan prosedur yang tercetak dalam undang-undang? Untuk apa bertahun-tahun susah payah dan sibuk mencetak ahli hukum kika kerjanya tidak lebih dari computer yang tinggal mencer-mencet? Jadi, paradigma hukum progresif akan mengarahkan jurist menjadi sosok yang arif-bijaksana dan memiliki wawasan komprehensif dalam mencapai kebenaran dan keadilan dalam setiap persoalan yang dihadapinya. Paradigma hukum progresif akan dapat menjinakkan kekakuan dan kebekuan undang-undang. Bukankah UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman kita, mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
1.Hukum Menurut asas Manusia
Negara Hukum adalah negara yang penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Di dalamnya pemerintah dan
lembaga-lembaga lain dalam melaksanakan tindakan apa pun harus dilandasi oleh
hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam negara hukum,
kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi
hukum) dan bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum (Mustafa Kamal
Pasha, 2003)
Negara berdasar atas hukum menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi (supreme) sehingga ada istilah supremasi hukum. Supremasi hukum harus tidak boleh mengabaikan tiga ide dasar hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian (Achmad Ali,2002). Apabila Negara berdasar atas hukum, pemerintahan Negara itu juga harus berdasar atas suatu konstitusi atau undang-undang dasar sebagai landasan penyelenggaraan pemerintahan. Konstitusi dalam negara hukum adalah konstitusi yang bercirikan gagasan kostitusionalisme yaitu adanya pembatasan atas kekuasaan dan jaminan hak dasar warga negara.
Negara berdasar atas hukum menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi (supreme) sehingga ada istilah supremasi hukum. Supremasi hukum harus tidak boleh mengabaikan tiga ide dasar hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian (Achmad Ali,2002). Apabila Negara berdasar atas hukum, pemerintahan Negara itu juga harus berdasar atas suatu konstitusi atau undang-undang dasar sebagai landasan penyelenggaraan pemerintahan. Konstitusi dalam negara hukum adalah konstitusi yang bercirikan gagasan kostitusionalisme yaitu adanya pembatasan atas kekuasaan dan jaminan hak dasar warga negara.
Berdasarkan berbagai definisi tentang hukum, bisa
kita simpulkan bahwa Indonesia pun memiliki hukum. Namun bisa kita lihat
sendiri bahwa kondisi hukum di Indonesia saat ini lebih banyak menuai kritikan
daripada pujian. Kritikan-kritikan itu mengarah pada penegakkan hukum,
kesadaran hukum, dan kualitas hukumnya. Hukum yang seharusnya bisa menjadi
penegak keadilan bagi masyarakat masih belum bisa difungsikan sebagaimana
mestinya. Banyak berbagai praktek negatif layaknya racun atau virus yang
menyertai pelaksanaan hukum itu sendiri. Dampaknya, hukum di Indonesia terlihat
lemah dan statusnya pun terancam.
Lebih dari pada itu, hukum yang dibuat sebagai
jembatan pelaksanaan keadilan sudah tidak relevan lagi karena adanya berbagai
penyimpangan dan diskriminatif di dalamnya. Penyimpangan dan diskriminatif
peradilan ini menjadikan hukum seperti jaring laba-laba yang hanya mampu
menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kuat dan kaya. Ketika
orang biasa dan tidak mempunyai jabatan melakukan pelanggaran hukum, seperti
Hamdani yang mencuri sandal jepit bolong milik perusahaan tempat ia bekerja,
atau seorang nenek yang mencuri singkong karena kelaparan langsung ditangkap
dan dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Sebaliknya, seorang pejabat negara yang
melakukan korupsi masih bisa tetap bebas berkeliaran. Kasus-kasus hukum yang
menimpa orang-orang berjabatan tinggi dan memiliki kekuasaan sebagai terdakwa
atau tersangkanya seakan ditangani dengan berbelit-belit dan terkesan
ditunda-tunda hingga akhirnya tidak ada keputusan yang jelas. Seperti itulah
gambaran tentang kondisi penegakkan hukum di Indonesia.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pelaksanaan hukum
yang seperti itu sama halnya dengan merobohkan tiang penyangga hukum dan pada
akhirnya akan meruntuhkan bahkan menjatuhkan keadilan yang menjadi tujuannya.
Apakah kita semua bisa merasakan dampak dari keruntuhan itu? Bisakah kita lihat
di kehidupan nyata? Saya yakin bahwa semua masyarakat Indonesia pasti bisa
merasakan juga melihat kenyataannya bahwa hukum di sini bukan lagi hukum namun
seperti racun pembunuh bagi orang-orang yang tidak mempunyai penawarnya.
Orang-orang yang lemah hanya bisa pasrah sementara orang-orang yang kuat tak pernah
menyerah. Mereka semakin memperkuat diri justru dengan memanfaatkan hukum yang
sudah bisa ‘dibeli’ dengan kekayaan mereka. Lantas hukum macam apa yang
dimiliki Indonesia saat ini? Masih pantaskah hukum itu disebut hukum jika sudah
tidak murni dan tidak bisa difungsikan sebagaimana mestinya?
Rapuhnya hukum di Indonesia saat ini menunjukan
rapuhnya moral masyarakatnya. Jikalau masyarakat memiliki kesadaran hukum, maka
tak mungkin norma-norma saat ini bergeser kepada rasa egoisme dan individual.
Selain itu, nilai-nilai keadilan akan tetap terjaga dan bisa mencegah tindakan
anarkis dan kekerasan yang banyak terjadi saat ini. Tentu setiap masalah bisa
dengan mudah diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mufakat seperti yang
terkandung dalam Pancasila. Lebih lanjut, penegakkan hukum pun bisa lebih
terkendali dan berjalan sebagaimana mestinya.
Singkatnya, cara untuk menguatkan hukum di Indonesia
yang semakin rapuh ini adalah menutrisi hukum dan semua komponen terkait dengan
hal-hal positif yang bisa memulihkan serta membawanya ke jalan yang benar.
Hal-hal itu bisa kita mulai dengan meningkatkan kesadaran hukum aparat serta
masyarakat guna menegakkan hukum dan moral dengan baik. Disamping itu, penting
juga untuk mengubah peraturan perundang-undangan yang saat ini masih lebih
merefleksikan kepentingan politik penguasa dibanding kepentingan rakyat.
Meningkatkan kelancaran proses penegakkan hukum dengan menambah sarana dan
prasarananya pun menjadi salah satu komponen yang penting.
Memang bukan hal yang mudah untuk memperbaiki hukum
yang sudah terlanjur rusak kemudian mempertahan kekuatannya agar tidak kembali
rapuh. Meskipun demikian, pasti selalu ada celah untuk meruntuhkan keburukan
yang sedang menimpa hukum dan membangun kebaikan demi tegakknya hukum dan keadilan
di Indonesia karena hukum bernilai bukan hanya karena itu hukum, melainkan
karena ada kebaikan di dalamnya.
2. Negara Hukum Formil dan Negara Hukum Materiil
Negara hukum formil adalah Negara hukum dalam arti sempit yaitu negara yang warga negara. Urusan ekonomi diserahkan pada warga dengan dalil laissez faire, laissez aller yang berarti bila warga dibiarkan mengurus kepentingan ekonominya sendiri maka dengan sendirinya perekonomian negara akan sehat.
Materiil atau Negara hukum dalam arti luas. Dalam negara hukum materiil atau dapat disebut Negara hukum modern, pemerintah diberi tugas membangun kesejahteraan umum di berbagai lapangan kehidupan. Untuk itu pemerintah diberi kewenangan atau kemerdekaan untuk turut campur dalam urusan warga Negara. Pemerintah diberi Freies Ermessen yaitu kemerdekaan yang dimiliki pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan ekonomi social dan keleluasaan untuk tidak terikat pada produk legislasi parlemen.
Negara hukum materiil atau dapat disebut Welfare
State adalah Negara yang pemerintahannya memiliki keleluasaan untuk turut
campur tangan dalam urusan warga dengan dasar bahwa pemerintah ikut bertanggung
jawab terhadap kesejahteraan rakyat. Negara bersifat aktif dan mandiri dalam
upaya membangun kesejahteraan rakyat.
3. Ciri-ciri Negara Hukum
Fredrich Julius stahl dari kalangan ahli hukum eropa continental memberikan cirri-ciri rechtsstaat sebagai berikut.
1. Hak asasi manusia
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asai manusia yang biasa dikenal sebagai trias politika.
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan –peraturan.
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan
Adapun AV Dicey dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon member ciri-ciri Rule of law sebagai berikut :
1. Supremasi hukum ,dalam arti tidak boleh ada kesewenwng-wenangan,sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum
2. Kedudukan yang sama di depan hukum,baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat
3. Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan.
3. Ciri-ciri Negara Hukum
Fredrich Julius stahl dari kalangan ahli hukum eropa continental memberikan cirri-ciri rechtsstaat sebagai berikut.
1. Hak asasi manusia
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asai manusia yang biasa dikenal sebagai trias politika.
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan –peraturan.
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan
Adapun AV Dicey dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon member ciri-ciri Rule of law sebagai berikut :
1. Supremasi hukum ,dalam arti tidak boleh ada kesewenwng-wenangan,sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum
2. Kedudukan yang sama di depan hukum,baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat
3. Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan.
Prof.Sudargo Gautama mengemukakan ada 3(tiga) ciri
atau unsur dari negara hukum, yakni sebagai berikut :
a. Terdapat pembatasan kekuasaan Negara terhadap perorangan, maksudnya Negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang . Tindakan Negara dibatasi oleh hukum, individual mempunyai hak terhadap Negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa.
b. Asas legalitas
Setiap tindakan Negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya.
c. Pemisahan kekuasaan
Agar hak-hak asasi itu betul-betul terlindungi , diadakan pemisahan kekuasaan yaitu badan yang membuat peraturan peundang-undangan, melaksanakan dan badan yang mengadili harus terpisah satu sama lain tidak berada dalam satu Negara.
a. Terdapat pembatasan kekuasaan Negara terhadap perorangan, maksudnya Negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang . Tindakan Negara dibatasi oleh hukum, individual mempunyai hak terhadap Negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa.
b. Asas legalitas
Setiap tindakan Negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya.
c. Pemisahan kekuasaan
Agar hak-hak asasi itu betul-betul terlindungi , diadakan pemisahan kekuasaan yaitu badan yang membuat peraturan peundang-undangan, melaksanakan dan badan yang mengadili harus terpisah satu sama lain tidak berada dalam satu Negara.
Franz Magins Suseno (1997) mengemukakan adanya 5
(lima) cirri negara hukum sebagai salah satu cirri hakiki Negara demokrasi.
Kelima cirri Negara hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fungsi kenegaraan dijalankan oleh lembaga yang bersangkutan sesuai dengan ketetapan sebuah undang-undang dasar.
2. Undang-undang dasar menjamin hak asasi manusia yang paling penting.Karena tanpa jaminan tersebut , hukum akan menjadi sarana penindasan. Jaminan hak asasi manusia memastikan bahwa pemerintah tidak dapat menyalahgunakan hukum untuk tindakan yang tidak adil atau tercela.
3. Badan-badan Negara menjalankan kekuasaan masing-masing selalu dan hanya taat pada dasar hukum yang berlaku.
4. Terhadap tindakan badan Negara, masyarakat dapat mengadu ke pengadilan dan putusan pengadilan dilaksanakan oleh badan Negara.
5. Badan kehakiman bebas dan tidak memihak.
1. Fungsi kenegaraan dijalankan oleh lembaga yang bersangkutan sesuai dengan ketetapan sebuah undang-undang dasar.
2. Undang-undang dasar menjamin hak asasi manusia yang paling penting.Karena tanpa jaminan tersebut , hukum akan menjadi sarana penindasan. Jaminan hak asasi manusia memastikan bahwa pemerintah tidak dapat menyalahgunakan hukum untuk tindakan yang tidak adil atau tercela.
3. Badan-badan Negara menjalankan kekuasaan masing-masing selalu dan hanya taat pada dasar hukum yang berlaku.
4. Terhadap tindakan badan Negara, masyarakat dapat mengadu ke pengadilan dan putusan pengadilan dilaksanakan oleh badan Negara.
5. Badan kehakiman bebas dan tidak memihak.
Hukum
Menurut Wawasan Nusantara
Sebelum lahirnya Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982
(United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982) yang menetapkan
lebar laut teritorial adalah 12 mil laut. Pada konvensi hukum laut I dan II
yang dilangsungkan di Jenewa tidak mampu menyelesaikan masalah kesepakatan
tentang luas laut teritorial dan hanya menetapkan lebar laut teritorial seluas
3 mul laut berdasarkan praktek kebiasaan waktu itu. Selain itu, penetapan batas
wilayah menurut “Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939”
yang dimuat dalam Staatsblad 1939 No. 442 Pasal 1 (1) yang juga menetapkan
lebar wilayah laut teritorial Indonesia adalah 3 mil, dalam konteks negara kepulauan
(archipelagic state) seperti Indonesia, hal ini jelas sangat merugikan.
Mengingat adanya kelemahan atas hukum yang mengatur
mengenai wilayah laut (perairan) di Wilayah Negara Republik Indonesia yang
masih merupakan warisan kolonial Belanda dahulu, dengan tolak ukur jarak tiga
mil laut dari pantai itu, ternyata ada juga negara-negara lain yang
menyimpanginya. .Negara-negara itu yaitu negara-negara Skandinavia sejauh empat
mil, dan Spanyol dengan jarak enam mil dari pantai. Karena itu, wajarlah apabila
pemerintah RI mempunyai gagasan baru untuk merombak total (masalah lebar laut)
dan kemudian mengembangkan ke aspek-aspek selanjutnya.
Perombakan yang dimaksudkan di atas untuk pertama
kali dilaksanakan oleh pemerintah RI dengan mengeluarkan pengumuman pada
tanggal 13 Desember 1957 yang disebut Deklarasi 13 Desember 1957, atau dikemudian hari dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda karena pada saat itu Indonesia masih memakai konstitusi RIS 1949 dengan Perdana Menteri-nya Ir, Djuanda.
tanggal 13 Desember 1957 yang disebut Deklarasi 13 Desember 1957, atau dikemudian hari dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda karena pada saat itu Indonesia masih memakai konstitusi RIS 1949 dengan Perdana Menteri-nya Ir, Djuanda.
Adapun pertimbangan-pertimbangan yang mendorong
pemerintah RI sebagai suatu negara kepulauan sehingga mengeluarkan pernyataan
mengenai wilayah perairan Indonesia, adalah:
a. Bahwa bentuk geografis Indonesia yang berwujud negara kepulauan, yang terdiri atas tiga belas ribu lebih pulau-pulau, besar dan kecil yang tersebar dilautan.
b. Demi untuk kesatuan wilayah negara RI, agar semua kepulauan dan perairan (selat) yang ada diantaranya merupakan satu kesatuan yang utuh, dan tidak dapat dipisahkan antara pulau yang satu dengan lainnya, atau antara pulau dengan perairannya.
c. Bahwa penetapan batas perairan wilayah sebagaimana menurut “Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939” yang dimuat dalam Staatsblad 1939 No. 442 Pasal 1 (1) sudah tidak sesuai lagi dengan kepentingan Indonesia setelah merdeka.
d. Bahwa Indonesia setelah berdaulat sebgai suatu negara yang merdeka, mempunyai hak sepenuhnya dan berkewajiban untuk mengatur segala sesuatunya, demi untuk keamanan dan keselamatan negara serta bangsanya.
a. Bahwa bentuk geografis Indonesia yang berwujud negara kepulauan, yang terdiri atas tiga belas ribu lebih pulau-pulau, besar dan kecil yang tersebar dilautan.
b. Demi untuk kesatuan wilayah negara RI, agar semua kepulauan dan perairan (selat) yang ada diantaranya merupakan satu kesatuan yang utuh, dan tidak dapat dipisahkan antara pulau yang satu dengan lainnya, atau antara pulau dengan perairannya.
c. Bahwa penetapan batas perairan wilayah sebagaimana menurut “Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939” yang dimuat dalam Staatsblad 1939 No. 442 Pasal 1 (1) sudah tidak sesuai lagi dengan kepentingan Indonesia setelah merdeka.
d. Bahwa Indonesia setelah berdaulat sebgai suatu negara yang merdeka, mempunyai hak sepenuhnya dan berkewajiban untuk mengatur segala sesuatunya, demi untuk keamanan dan keselamatan negara serta bangsanya.
Deklarasi Djuanda 1957 merupakan titik pangkal
lahirnya klaim Wawasan Nusantara, yang merupakan konsepsi kewilayahan. Dalam
masalah pengumuman pemerintah RI tentang konsep Wilayah Perairan, pemerintah RI
bukan satu-satunya negara yang melakukan klaim atas wilayah pantainya. Sebab
sebelumnya, Presiden AS, S. Truman, pada tanggal 25 Desember 1945 mengumumkan
dua pernyataan, yaitu:
1. Proklamasi tentang landas kontinen
2. Proklamasi tentang perikanan.
1. Proklamasi tentang landas kontinen
2. Proklamasi tentang perikanan.
Istilah Wawasan Nusantara sebenarnya baru dikenal
pada seminar pertahanan keamanan tahun 1966. Pada waktu itu Wawasan Nusantara
dipergunakan untuk mengembangkan kekuatan pertahanan dan keamanan yang terpadu,
untuk menggantikan tiga wawasan yang pernah ada, dan sifatnya sektoral, yatiu:
a. Wawasan Benua, yang diprakarsai oleh AD.
b. Wawasan Bahari yang diprakarsai oleh AL.
c. Wawasan Dirgantara yang diprakarsai oleh AU
a. Wawasan Benua, yang diprakarsai oleh AD.
b. Wawasan Bahari yang diprakarsai oleh AL.
c. Wawasan Dirgantara yang diprakarsai oleh AU
Ketiga wawasan tersebut di atas masing-masing
sebagai perwujudan konsep kekuatan (power concept) sehingga menimbulkan adu
kekuatan, yang dapat mengakibatkan gejolak atau ketegangan dalam
kehidupan politik bagsa dan negara, atau kemungkinan dapat menimbulkan
terjadinya instabilitas nasional dalam kehidupan masyarakat negara. Lain halnya
dengan Wawasan Nusantara yang dikembangkan menjadi kebudayaan politik
(political culture) dan merupakan milik bangsa dan negara RI. Dua tahun setelah
keluarnya Deklarasi Djuanda 1957, pada tanggal 18 Februari 1960 dikuatkan
dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 4 tahun
1960 tentang Perairan Indonesia (LN. 1960. No. 22) dengan maksud agar klaim
tersebut memiliki kekuatan hukum dan mengikat.
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966,
Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang tersebut diatas, dikukuhkan
(dituangkan) menjadi undang-undang No. 4 Prp. Tahun 1960. Adapun isi pokok UU No. 4. Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia adalah:
1. Perairan Indonesia ialah Laut Wilayah beserta perairan Pedalaman Indonesia (Perairan Nusantara).
2. Laut Wilayah Indonesia ialah jalur laut selebar dua belas mil laut dari pulaupulau yang terluar atau bagian pulau-pulau yang terluar dengan dihubungkan garis lurus antara satu dengan lainnya.
3. Apabila ada selat yang lebarnya tidak melebihi dua puluh empat mil laut, dan negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi (artinya ada negara tetangga), maka garis batas Laut Wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.
4. Perairan Pedalaman Indonesia (Perairan Nusantara) adalah semau perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis besar.
5. Hak Lintas Damai kendaraan air (kapal) asing, diakui dan dijaman sepanjang tidak mengganggu atau bertentangang dengan keamanan serta keselamatan negara dan bangsa.
6. Tidak berlakunya lagi pasal 1 ayat (1) angka 1 sampai dengan 4 ‘Territoriale Zee Maritieme Kringen Ordonantie” 1939.
(dituangkan) menjadi undang-undang No. 4 Prp. Tahun 1960. Adapun isi pokok UU No. 4. Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia adalah:
1. Perairan Indonesia ialah Laut Wilayah beserta perairan Pedalaman Indonesia (Perairan Nusantara).
2. Laut Wilayah Indonesia ialah jalur laut selebar dua belas mil laut dari pulaupulau yang terluar atau bagian pulau-pulau yang terluar dengan dihubungkan garis lurus antara satu dengan lainnya.
3. Apabila ada selat yang lebarnya tidak melebihi dua puluh empat mil laut, dan negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi (artinya ada negara tetangga), maka garis batas Laut Wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.
4. Perairan Pedalaman Indonesia (Perairan Nusantara) adalah semau perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis besar.
5. Hak Lintas Damai kendaraan air (kapal) asing, diakui dan dijaman sepanjang tidak mengganggu atau bertentangang dengan keamanan serta keselamatan negara dan bangsa.
6. Tidak berlakunya lagi pasal 1 ayat (1) angka 1 sampai dengan 4 ‘Territoriale Zee Maritieme Kringen Ordonantie” 1939.
Implikasi posistif klaim wawasan nusantara yang
tercantum dalam UU No. 4/ Prp 1960 adalah :
1. Wilayah Indonesia berdasarkan TZMKO 1939 luasnya hanya: 2.027.087 km2; setelah berlakunya UU No. 4/Prp. 1960 tersebut, luas wilayah Indonesia menjadi: 5.193.250. km2 (daratan dan lautan); berarti luas wilayah bertambah 3.166.163 km2 (Perairan) atau lebih kurang: 145%. Meskipun pertambahan wilayah tersebut berwujud perairan, tetapi banyak mengandung sumber daya alam.
2. Realisasi makna ketentuan yang tercantum didalam alinea IV pembukaan UUD 1945, Juga Pasal 1 (1) UUD 1945 dapat dilaksana.
1. Wilayah Indonesia berdasarkan TZMKO 1939 luasnya hanya: 2.027.087 km2; setelah berlakunya UU No. 4/Prp. 1960 tersebut, luas wilayah Indonesia menjadi: 5.193.250. km2 (daratan dan lautan); berarti luas wilayah bertambah 3.166.163 km2 (Perairan) atau lebih kurang: 145%. Meskipun pertambahan wilayah tersebut berwujud perairan, tetapi banyak mengandung sumber daya alam.
2. Realisasi makna ketentuan yang tercantum didalam alinea IV pembukaan UUD 1945, Juga Pasal 1 (1) UUD 1945 dapat dilaksana.
Dalam usaha mewujudkan konsep wawasan nusantara ini,
pemerintah RI telah dua kali meng-gol-kan klaim wawasan nusantara itu di forum
internasional, yaitu dalam konferensi hukum laut Internasional pada tahun 1958
dan tahun 1960; tetapi belum mendapatkan hasil sebagaimana diharapkan. Dengan
telah dijadikannya Deklarasi Djuanda 1957 kedalam bentuk undang-undang, yang
berarti mempunyai kekuatan hukum dan mengikat. Dalam hal ini, ada dua macam
jalur jalur yang ditempuh pemerintah RI dalam memperjuangkan konsep wawasan
nusantara. Kedua macam jalur tersebut adalah:
a) Jalur internasional; yaitu seperti yang sudah dilakukan, dengan jalan memperjuangkan dalam pembicaraan-pembicaraan di forum internasional, konferensi hukum laut,dan forum-forum internasional lainnya.
b) Jalur nasional; yaitu dengan langsung mengadakan perundingan baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara-negara tetangga yang berkepentingan.
a) Jalur internasional; yaitu seperti yang sudah dilakukan, dengan jalan memperjuangkan dalam pembicaraan-pembicaraan di forum internasional, konferensi hukum laut,dan forum-forum internasional lainnya.
b) Jalur nasional; yaitu dengan langsung mengadakan perundingan baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara-negara tetangga yang berkepentingan.
Diantara dua macam jalur cara memperjuangkan klaim
wawasan nusantara tersebut, ternyata dalam jangka waktu pendek lebih terlihat
hasilnya meskipun terbatas hanya negara-negara yang berkepentingan saja adalah
yang melalui jalur nasional. Hal ini terbukti dengan adanya perundinganperundingan
antar negara yang menghasilkan perjanjian (treaty) atau persetujuan
(agreement), mengenai perbatasan laut wilayahnya dengan wilayah RI. Perjanjian
dan persetujuan yang dimaksudkan antara lain, termuat dalam:
1. UU No. 22 tahun 1971 (LN. 1971 No. 16) tentang Perjanjian antara RI dan Malaysia tentang Penetapan Garis Batas Laut kedua negara di selat Malaka.
2. Keputusan Presiden No. 66 Tahun 1972 (LN. 1972 No. 45) tentang Penetapan Batas Laut Antara RI – Australia di Laut Timor dan Laut Arafuru.
3. UU No. 6 Tahun 1973 (LN. 1973 No. 58), tentang Perjanjian Antara Indonesia dengan Australia Mengenai Garis-garis Batas Tertentu Antara Indonesia dengan PNG.
4. UU No. 7 tahun 1973 (LN. 1973 No. 59) tentang Perjanjian Antara Indonesia dengan Singapura Mengenai Penetapan Garis Batas Laut Wilayah kedua negara di Selat Singapura.
5. Keppres No 24 Tahun 1978 (LN. 1978 No 37) Mengesahkan Persetujuan Antara Pemerintah RI, Pemerintah Republik India dan Pemerintah Kerajaan Thailand, Tentang Penetapan Titik Pertemuan Tiga Garis Batas dan Penetapan Garis Batas Ketiga Negara di Laut Andaman.
6. Keppres No. 6 Tahun 1980 (LN. 1980 No. 3) tentang Pengesahan Persetujuan Dasar Antara RI dan PNG tentang Pengaturan-Pengaturan Perbatasan Kedua Negara.
1. UU No. 22 tahun 1971 (LN. 1971 No. 16) tentang Perjanjian antara RI dan Malaysia tentang Penetapan Garis Batas Laut kedua negara di selat Malaka.
2. Keputusan Presiden No. 66 Tahun 1972 (LN. 1972 No. 45) tentang Penetapan Batas Laut Antara RI – Australia di Laut Timor dan Laut Arafuru.
3. UU No. 6 Tahun 1973 (LN. 1973 No. 58), tentang Perjanjian Antara Indonesia dengan Australia Mengenai Garis-garis Batas Tertentu Antara Indonesia dengan PNG.
4. UU No. 7 tahun 1973 (LN. 1973 No. 59) tentang Perjanjian Antara Indonesia dengan Singapura Mengenai Penetapan Garis Batas Laut Wilayah kedua negara di Selat Singapura.
5. Keppres No 24 Tahun 1978 (LN. 1978 No 37) Mengesahkan Persetujuan Antara Pemerintah RI, Pemerintah Republik India dan Pemerintah Kerajaan Thailand, Tentang Penetapan Titik Pertemuan Tiga Garis Batas dan Penetapan Garis Batas Ketiga Negara di Laut Andaman.
6. Keppres No. 6 Tahun 1980 (LN. 1980 No. 3) tentang Pengesahan Persetujuan Dasar Antara RI dan PNG tentang Pengaturan-Pengaturan Perbatasan Kedua Negara.
Hukum
Ketahan Nasional
Di
dalam UUD 1945 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
Mahkamah Agung beserta badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha
negara. Teori hukum memberikan tuntunan analisis bahwa struktur
penegakan hukum mengandung unsur prosedural yang memberi arah pada mekanisme
penegakan hukum dan keadilan, dan substansi penegakan hukum dan keadilan yang
memberi arah bagi kepastian hukum dan keadilan. Dengan perkataan lain
bahwa mekanisme tersebut harus mampu memberikan keadilan prosedural
dan dengan demikian kepastian hukum akan memberikan keadilan substantif.
Adalah menjadi pertanyaan apakah keadilan prosedural dan keadilan
substantif mempunyai kaitan dengan penegakan supremasi hukum. Kedua jenis
keadilan itu dengan supremasi hukum tanpaknya perlu dipersandingkan agar
memberikan gambaran konkrit mengenai posisi penegakan supremasi hukum
bagi ketahanan nasional. Pada dasarnya supremasi hukum itu
berintikan keadilan hukum. Sebelum lebih jauh menguraikan keadilan hukum,
perlu sebelumnya menguraikan jalan dimana keadilan hukum itu harus
berpijak sehingga keadilan hukum yang mana dan yang bagaimana yang dibutuhkan
bagi Indonesia.
Di dalam sejarah konstitusi Indonesia dikenal prinsip bahwa
Negara Indonesia ialahrechtsstaat yang diidentikkan dengan konsep
negara hukum dalam sistem konstitusi continental europe, yang memberikan
tekanan khusus pada kepastian hukum, persamaan, demokrasi dan pemerintahan yang
melayani kepentingan umum. Banyak juga yang berpendapat
bahwa rechtsstaatdiinterpretasikan dengan cenderung seperti yang
dimaksudkan oleh konsep rule of law yang dikembangkan di dalam
sistem konstitusi negara Anglo Saxon yang memberikan perhatian utama pada
supremasi hukum, equality before the law , dan konstitusi yang
diorientasikan pada hak-hak perseorangan. Sekalipun pandangan individualistik
mendominasi kedua sistem tersebut, namun terdapat perbedaan yang
menonjol. Diberinya peran peradilan administrasi negara sebagai ciri yang
menonjol di dalam konsep rechtsstaat karena kurangnya kepercayaan
masyarakat pada peradilan umum dan terutama perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan pemerintah. Sementara itu di dalam sistem rule of
law tidak diberi peran sedikit pun kepada peran peradilan
administrasi negara sebagai ciri utama prinsip rule of law dan dengan
demikian memang menaruh kepercayaan besar kepada peradilan umum untuk semua
permasalahan hukum, termasuk perbuatan melanggar hukum dari pemerintah.
Dapat dilihat bahwa kesamaan penting di dalam kedua konsep tersebut di atas
adalah kecenderungan pemikiran individualistik, yang pada gilirannya
dipengaruhi oleh pemikiran liberalistik yang berujung pada ditegakkannya
keadilan individual dimana hak subyektif yang menjadi ukuran lahirnya keadilan
hukum di dalam setiap pengaturan mengenai hukum obyektif. Dibandingkan
dengan Indonesia yang di dalam UUD 1945
menganut rechtsstaat yang diidentikkan dengan negara hukum sudah
barang tentu tidak ada kecenderungan pada pemikiran individualistik. Dengan
ditempatkannya Pancasila pada pucuk piramid sistem hukum nasional sebagai
sumber dari segala sumber hukum, maka pemikiran individualistik apalagi yang
liberalistik tidak mendominasi peri kehidupan bangsa dan negara. Pancasila
mengandung ragam rechts idea atau cita hukum yang tidak hanya
individualistik akan tetapi sebaliknya mengandung idea Ketuhanan Yang
Maha Esa, persatuan dalam kontek pluralistik dan kemanusiaan yang adil dan
beradab. Kerakyatan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan cita hukum yang
menyangkut keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Karena itu sistem hukum
nasional dalam konsep negara hukum Indonesia tidak seperti yang dimaksud dalam
sistem rechtsstaat dari continental europe dan bukan
pula seperti yang dimaksud konsep rule of law dari negara Anglo
Sexon, akan tetapi konsep negara hukum Pancasila. Dari sana lah rujukan untuk
memberi warna yuridis pada keadilan hukum dalam penegakan supremasi hukum.
Bagaimana strategi
penegakan supremasi hukum yang berintikan keadilan hukum dalam konsep negara
hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Penegakan supremasi hukum bukanlah
dominasi pelaku kekuasaan kehakiman. Akan tetapi justru harus dilakukan oleh
seluruh komponen negara. Dalam studi ilmu negara di sana dipelajari mengenai
asal mula negara dan juga menyinggung komponen negara. Dalam studi ilmu
hukum tata negara di sana dipelajari juga mengenai konstitusi dan konstruksi
negara di dalam konstitusi itu. Secara umum dapat dilihat bahwa tatkala
kata negara,disebut, maka ketika itu dipahami bahwa komponen pokok dari
suatu negara adalah wilayah kedaulatan negara, pemerintahan negara, dan rakyat
negara.
Di dalam tiga komponen
pokok negara tersebut harus dilakukan penegakan supremasi hukum. Secara khusus
di dalam pemerintahan negara, terdapat tiga kekuasaan negara, yaitu kesatu,
kekuasaan legislatif yang implementasinya di Indonesia diwujudkan dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), kedua, kekuasaan eksekutif, yang di dalamnya terdapat lembaga
kepresidenan yaitu presiden dan wakil presiden, berserta para pembantunya dalam
tataran penyelenggaraan pemerintah negara, yang secara organisatoris
diimplementasikan dalam bentuk kementerian negara dan non kementerian. Ketiga
adalah kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung beserta badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara, serta
sebuah mahkamah konstitusi.
Uraian di atas menunjukkan bahwa penegakan supremasi hukum pada tataran
pelaksanaan hukum dilakukan oleh seluruh kekuasaan negara yang terbagi itu.
Penegakan supremasi hukum dalam tataran kekuasaan eksekutif harus
mengambil strategi yuridis berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam
lingkaran legal policy nya. Hal itu dilakukan untuk menghindarkan
kemungkinan terjadinya abuse of power dan perbuatan melanggar
hukum atau perbuatan melawan hukum. Legal policy sebagai
kerangka strategis bagi kekuasaan eksekutif adalah pola kinerja yang
konstitusional dan yuridis yang legistik, dan sejauh mungkin perlu dihindari
kedekatannya dengan kinerja yang serba legalistik, yang pada gilirannya
akan keluar dari legal policy sehingga yang ada
hanyalah policy yang rentan dengan kemungkinan dapat menyerempet
proses kriminalisasi .
Kekuasaan kehakiman melakukan penegakan supremasi hukum melalui proses hukum
pada tiap lingkungan dalam jenjang peradilan. Tata peradilan dengan segala
kompleksitasnya berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung sebagai
pengadilan negara tertinggi dalam bidang pembinaan tehnis peradilan,
administrasi, organisasi dan finansial peradilan terhadap semua pengadilan
negara dalam lingkungan peradilan yang ada di bawahnya.
Langkah strategis
yang dilakukan oleh Mahkamah Agung beserta badan peradilan yang ada dibawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan
peradilan tata usaha negara, tidak lain dari pada yang telah digariskan
secara konstitusional, dan ketentuan undang-undang terutama mengenai segi
keadilan prosedural. Selain dari yang demikian dilakukan berbagai prinsip
kerja yudikatif secara konseptual dalam kerangka pelaksanaan kekuasaan
kehakiman sebagai upaya untuk menegakkan keadilan substantif.
Untuk menjamin dan mendukung terjaminnya
penegakan supremasi hukum pada tiap jenjang pengadilan, telah menyiapkan
Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung Republik Indonesia dan berimplikasi langsung
pada pembinaan peradilan dalam berbagai aspek tehnis hukum dan peradilan,
administrasi dan organisasi peradilan serta sistem keuangan peradilan termasuk
biaya perkara sebagai penerimaan negara bukan pajak.
Menyangkut pembinaan tehnis hukum, dikembangkan
terus secara berkelanjutan pemahaman mengenai hubungan kepastian hukum dan
keadilan. Bahwa keadilan tidak muncul sedemikian rupa tanpa melalui kepastian
hukum dan sebaliknya hanya kepastian hukum saja tindak mungkin melahirkan
keadilan. Keadilan prosedural dan keadilan substantif harus berjalan seiring
dengan garis kepastian hukum, karena kedua jenis keadilan itu tidak mungkin
dapat diberikan kepada masyarakat tanpa berpegang teguh pada kepastian hukum.
Kewenangan dalam menjalankan fungsi penegakan hukum secara institusional yang
berkait dengan pelaksanaan kekuasaan kehakiman harus berjalan di atas rel hukum
yang legistik dan karena itu harus dhindari kemungkinan bergeser ke rel hukum
yang legalistik karena rel ini berada dalam kekuasaan kehakiman. Dari yang
tergambar di atas betapa pelaksanaan fungsi penegakan hukum itu demi
kepastian hukum harus terhindar dari berbagai intervensi eksternal apalagi
intervensi politik.
Di dalam pelaksanaan
kekuasaan kehakiman, secara legistik diatur bahwa hakim yang berada pada tiap
jenjang pengadilan adalah pejabat negara pelaksana kekuasaan kehakiman. Hakim
harus memiliki pemahaman yang kuat dan konprehensif mengenai hubungan timbal
balik kepastian hukum dengan keadilan sehingga mendapat arah yang tepat dan
benar dalam menerapkan hukum. Selain dari pada itu hakim dituntut untuk
memiliki ketrampilan dalam memahami dan menafsir hukum sesuai dengan kewenangan
yang diberikan hukum sehingga pada gilirannya ia dapat menciptakan hukum
ketika berhadapan dengan kompleksitas permasalahan hukum dalam proses
peradilan sejalan dengan perkembangan kehidupan sosial kemasyarakatan.
Hal itu berkaitan dengan berbagai jenis keadilan yang ditegakkan melalui
kepastian hukum dalam proses peradilan seperti: (1) keadilan distributif yang menekankan
proporsionalitas, sementara (2) keadilan kumutatif yang menekankan pada
persamaan antara prestasi dan kontraprestasi, (3) keadilan vindikatif yang
menjatuhkan hukuman atas ganti kerugian dalam tindak pidana, (4) keadilan
korektif yang berorientasi pada pembetulan yang berusaha memberikan kompensasi
atas kerugian yang proporsional akibat dari suatu tindak pidana, Kemudian
(5) keadilan retributif yang menekankan pada hukuman yang proporsional
dengan besar kecilnya tindak pidana yang dilakukan seperti kejahatan kecil
dipidana ringan dan kejahatan besar dipidana berat dimana pola itu tidak saja
berlaku di dalam lingkungan kekuasaan kehakiman tetapi juga dapat diterapkan
dalam lingkungan kekuasaan lain.
Penegakan supremasi hukum dalam proses peradilan
sesuai dengan perkembangan hukum dan peradilan, restorative
justice atau keadilan restoratif telah menjadi pilihan. Keadilan
restoratif memusatkan perhatiannya pada kejahatan yang menentang individu dan
masyarakat dari pada negara. Korban memegang peran penting dan dapat menerima
restitusi dari pelaku pelanggaran atau kejahatan.Dalam keadilan ini, pelaku
kejahatan dan pelanggaran diwajibkan memberikan ganti kerugian kepada
korban secara proporsional. Untuk mewujudkan keadilan restoratif, dalam
bidang pidana dapat dilakukan mediasi pidana baik dalam proses litigasi maupun
non litigasi. Untuk jenis non litigasi, secara legistik telah dilakukan
melalui ketentuan undang-undang seperti yang diatur di dalam
Undang-undang yang mengatur mengenai otonomi khusus Papua,
penyelesaian sengketa secara adat di daerah-daerah yang pernah
terjadi persengketaan etnis, agama atau lainnya.
Di dalam sengketa
perdata, mediasi perdata sebagai bentuk keadilan restoratif telah
mampu menyelesaikan sengketa perdata tanpa litigasi dalam waktu yang
cepat dan biaya ringan. Dengan demikian bahwa prinsip penyelenggaraan
peradilan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan di dalam sistem
petadilan Indonesia adalah merupakan juga implementasi dari keadilan restoratif.
Dengan demikian terlihat bahwa local wisdom atau kearifan
lokal menjadi bentuk hukum yang legalistik yang diterapkan melaui
keadilan restoratif sehingga bukan saja memberikan keadilan hukum
atau legal justice tetapi juga sekaligus memberikan social
justice dan kepuasan yuridis maupun kepuasan sosial.
4.Implementasi
Politik dan Strategi Nasional di Berbagai Bidang
Implementasi politik dan strategi nasional di bidang hukum:
1.
Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya
kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya
negara hukum.
2.
Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui
dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui
perundang–undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif,
termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaianya dengan reformasi melalui
program legalisasi.
3.
Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah dan terbuka,
serta bebas korupsi dan nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan
dan kebenaran.
4.
Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan perlindungan.
Penghormatan dan penegakan hak asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan.
5.
Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak
asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas.
Implemetasi politk
strategi nasional dibidang ekonomi :
1.
Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar
yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat dan memperhatikan pertumbuhan
ekonomi, nilai–nilai keadilan, kepentingan sosial, kualitas hidup, pembangunan
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sehingga terjamin kesempatan yang sama
dalam berusaha dan bekerja, perlindungan hak–hak konsumen, serta perlakuan yang
adil bagi seluruh rakyat.
2.
Mengembangkan persaingan yang sehat dan adil serta menghindarkan terjadinya
struktur pasar monopolistik dan berbagai struktur pasar distortif, yang
merugikan masyarakat.
3.
Mengoptimalkan peranan pemerintah dalam mengoreksi ketidaksempurnaan pasar
dengan menghilangkan seluruh hambatan yang menganggu mekanisme pasar, melalui
regulasi, layanan publik, subsidi dan insentif, yang dilakukan secara
transparan dan diatur undang–undang.
4.
Mengupayakan kehidupan yang layak berdasarkan atas kemanusiaan yang adil
bagi masayarakat, terutama bagi fakir miskin dan anak–anak terlantar dengan
mengembangkan sistem dan jaminan sosial melalui program pemerintah serta
menumbuhkembangkan usaha dan kreativitas masyarakat yang pendistribusiannya
dilakukan dengan birokrasi efektif dan efisien serta ditetapkan dengan
undang–undang.
5.
Mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai kemajuan
teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan
komperatif sebagai negara maritim dan agraris sesuai kompetensi dan produk
unggulan di setiap daerah, terutama pertanian dalam arti luas, kehutanan,
kelautan, pertambangan, pariwisata, serta industri kecil dan kerajinan rakyat.
6.
Mengelola kebijakan makro dan mikro ekonomi secara terkoordinasi dan
sinergis guna menentukan tingkat suku bunga wajar, tingkat inflasi terkendali,
tingkat kurs rupiah yang stabil dan realitis, menyediakan kebutuhan pokok
terutama perumahan dan pangan rakyat, menyediakan fasilitas publik yang memadai
dan harga terjangkau, serta memperlancar perizinan yang transparan, mudah,
murah, dan cepat.
Implementasi politik
strategi nasional di bidang politik :
1.
Memperkuat keberadaan dan kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang bertumpu pada kebhinekatunggalikaan. Untuk menyelesaikan masalah–masalah
yang mendesak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, perlu
upaya rekonsiliasi nasional yang diatur dengan undang–undang.
2.
Menyempurnakan Undang–Undang Dasar 1945 sejalan dengan perkembangan
kebutuhan bangsa, dinamika dan tuntutan reformasi, dengan tetap memelihara
kesatuan dan persatuan bengsa, serta sesuai dengan jiwa dan semangat Pembukaan
Undang–Undang Dasar 1945.
3.
Meningkatkan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan lembaga–lembaga
tinggi negara lainnya dengan menegaskan fungsi, wewenang dan tanggung jawab
yang mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan dan tata hubungan yang jelas
antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
4.
Mengembangkan sistem politik nasional yang berkedudukan rakyat demokratis
dan terbuka, mengembangkan kehidupan kepartaian yang menghormati keberagaman
aspirasi politik, serta mengembangkan sistem dan penyelengaraan pemilu yang
demokratis dengan menyempurnakan berbagai peraturan perundang–undangan dibidang
politik.
Secara umum Pembangunan Daerah adalah sebagai berikut :
·
Mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab dalam
rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga
hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat, serta
seluruh masayrakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
·
Melakukan pengkajian tentang berlakunya otonomi daerah bagi daerah
propinsi, daerah kabupaten, daerah kota dan desa.
·
Mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kuat dengan
memberdayakan pelaku dan potensi ekonomi daerah serta memperhatikan penataan
ruang, baik fisik maupun sosial sehingga terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi
sejalan dengan pelaksanaan ekonomi daerah.
·
Mempercepat pembangunan pedesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat
terutama petani dan nelayan melalui penyediaan prasarana, pembangunan sistem
agribisnis, indutri kecil dan kerajinan rakyat, pengembangan kelembagaan
penguasaan teknologi, dan pemanfaatan sumber daya alam.
·
Mewujudkan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah secara adil dengan
mengutamakan kepentingan daerah yang lebih luas melalui desentralisasi
perizinan dan investasi serta pengelolaan sumber daya.
·
Memberdayakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka melaksanakan
fungsi dan perannya guna memantapkan penyelenggaraan otonomi daerah yang luas,
nyata dan bertanggung jawab.
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup :
·
Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat
bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi.
·
Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup
dengan melakukan konservasi, rehabilitasi, dan penghematan penggunaan, dengan
menerapkan teknologi ramah lingkungan.
·
Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan
pemeliharaan lingkungan sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga, yang diatur
dengan undang–undang.
·
Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar–besarnya kemakmuran rakyat
dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,
pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat
lokal, serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang–undang.
·
Menerapkan indikator–indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan
pembaharuan dalam pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk
mencegah kerusakan yang tidak dapat balik.
Implementasi di bidang pertahanan dan keamanan :
·
Menata Tentara Nasional Indonesia sesuai paradigma baru secara konsisten
melalui reposisi, redefinisi, dan reaktualisasi peran Tentara Nasional
Indonesia sebagai alat negara untuk melindungi, memelihara dan mempertahankan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap ancaman dari luar dan
dalam negeri, dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan memberikan darma
baktinya dalam membantu menyelenggarakan pembangunan.
·
Mengembangkan kemampuan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta yang
bertumpu pada kekuatan rakyat dengan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian
Negara Repuiblik Indonesia sebagai kekuatan utama didukung komponen lainnya
dari kekuatan pertahanan dan keamanan negara dengan meningkatkan kesadaran bela
negara melalui wajib latih dan membangun kondisi juang, serta mewujudkan
kebersamaan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan rakyat.
·
Meningkatkan kualitas keprofesionalan Tentara Nasional Indonesia,
meningkatkan rasio kekuatan komponen utama serta mengembangkan kekuatan pertahanan
keamanan negara ke wilayah yang di dukung dengan sarana, prasarana, dan
anggaran yang memadai.
Refrensi :
Buku Pintar Penataran P4, Tanpa
Tahun, Departemen Kehakiman Repbulik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar