Selasa, 28 Mei 2013

Makalah Hukum



Makalah Hukum
 






Di Susun Oleh:
Nama        : Hernanda Bani Permana
NPM           : 18211984
Kelas          : 2EA27
Dosen         : Sri Waluyo








Kata Pengantar

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan limpahan rahmatnyalah maka saya boleh menyelesaikan sebuah karya tulis dengan tepat waktu.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "HUKUM", yang mmenurut saya dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari sejarah hukum.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat atau menyinggu perasaan pembaca.
Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.



Bekasi 23,05,2013



Hernanda Bani P











I.I PENDAHULUAN

Ketika bicara hukum di Indonesia, barangkali masyarakat sudah bosan dan lelah menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini. Sudah banyak issue-issue miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa maupun hakim. Sudah banyak tuduhan-tuduhan yang telah disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tentang banyaknya para koruptor penjarah uang rakyat milyaran dan bahkan triyulnan rupiah dibebaskan oleh pengadilan. Dan kalaupun dihukum hanya sebanding dengan hukuman pencuri ayam. Dengan mata telanjang dapat disaksikan bahwa orang miskin akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang berduit akan begitu mudah mendapatkan keadilan. Bukan rahasia lagi, bahwa dalam proses peradilan perkara pidana bila ingin mendapat keringanan atau bahkan bebas dari jeratan hukum harus menyediakan uang, begitu juga para pihak dalam perkara perdata, bila ingin memenangkan perkara maka harus menyediakan sejumlah uang. Dengan kata lain bahwa putusan pengadilan dapat dibeli dengan uang, karena yang menjadi parameter untuk keringanan hukuman dalam perkara pidana dan menang kalahnya dalam perkara perdata lebih kepada pertimbangan berapa jumlah uang untuk itu daripada pertimbangan hukum yang bersandar pada keadilan dan kebenaran.
Dalam situasi yang serba extra ordinary dimana bangsa dan negara kita ini sulit untuk keluar dari tekanan krisis di segala bidang kehidupan tidak tertutup kemungkinan bangsa Indonesia akan tambah terperosok ke jurang nestapa yang semakin dalam dan menyeramkan, maka situasi mencekam seperti ini tidak ayal hukum menjadi institusi yang banyak menuai kritik karena dianggap tidak becus untuk memberikan jawaban yang prospektif. Pasca tumbangnya pemerintahan otoriter tahun 1998, hamper setiap saat dibumi pertiwi ini lahir peraturan perundang-undangan untuk mengatur dan menjawab problematika kehidupan di Negara ini, sehingga keberadaan bangka kita ini dalam kondisi hiperregulated society. Namun, dengan segudang peraturan perundang-undangan, baik menyangkut bidang kelembagaan maupun sisi kegidupan manusia Indonesia, keteraturan (order) tidak kunjung datang. Malahan hukum kita tampak kewelahan, yang akibatnya dengan seabrek peraturan perundang-undangan itu dalam ranah penegakan hukum justru malah menerbitkan persoalan-persoalan baru ketimbang menuntaskannya. Hal ini menurut Satjipto Rahardjo, komunitas hukum dianggap sebagai komunitas yang sangat lamban dalam menangkap momentum. 
Sejak tumbangnya pemerintahan otoriter 1998 yang selanjutnya disebut sebagai era reformasi, sebenarnya merupakan momentum paling penting dan strategis dari segi kehidupan social dan hukum, namun kondisi ini tidak mampu menggerakkan untuk mengambil manfaat dalam ranah perbaikan. Institusi yang dijadikan tumpuan pembebasan dan pencerahan, justru menjadi sarang troble maker bangsa. Dampaknya kehidupan hukum menjadi tidak terarah dan terpuruk. Dalam situasi keterpurukan hukum seperti ini, maka apapun uapya pembenahan dan perbaikan dibidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya niscaya merupakan suatu yang musykil dilakukan (mission impossible) . Hal ini apabila dicermati , minimal terdapat dua faktor utama. Pertama, perilaku penegak hukum (professional jurist) yang koruptif dan yang kedua, pola pikir para penegak hukum Indonesia sebagian besar masih terkungkung dalam pikiran legalistic-positivistik, meskipun system kelembagaan hukum telah ditabuh ke arah perubahan-perubahan namun paradigma para penegak hukum masih berpola lama (orde baru).
Bahwa dalam harian Kompas tanggal 31 Mei tahun 2002, halaman 27 ditulis, panggung peradilan Indonesia…., dikepung oleh pelbagai hal yang sangat rawan dengan urusan KKN…, dan hedoisme…, uang yang bersileweran-pun bukan alang kepalang jumlahnya. Dalam harian yang sama pada halaman 4 seorang Denny Indrayana mengatakan “sebenarnya persoalan perilaku jurist itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Namun yang berlangsung di Indonesia sungguh sudah keterlaluan.
Selanjutnya ketika dikaji dari sisi penegakan hukum yang legal-positivistik, menurut Anis Ibrahim, rasanya kita sudah lebih dari cukup memiliki peraturan hukum yang dapat digunakan sebagai garansi kepastian dan keadilan bagi mereka yang sedang berurusan dengan hukum, Namun, sungguh sangat sulit mendapatkan data yang menggembirakan tentang keadilan yang muncul dari hukum. Misalnya, Indonesia telah menyatakan korupsi merupakan extra ordinary, dan karenanya dinyatakan Negara Indonesia berada dalam keadaan darurat korupsi. Hal ini, melahirkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU nomor 20/2001 yang mengubah UU Nomor 31/1999). Dan karena Kejaksaan dan Kepolisian dianggap tidak mampu menangani korupsi kelas kakap, maka lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan luar biasa untuk melakukan pemberantasan korupsi. Namun pemberantasan korupsi yang dilakukan hanya sebatas popularitas, asal sikat dan sering salah sasaran. Hal ini terbutki, koruptor kelas kakap yang menjarah BLBI trilyunan rupiah nyaris belum tersentuh. Ironisnya menurut Anis Ibrahim, seandainya ada yang dibawa ke pengadilan terdapat dua kemungkinan putusan, jika tidak dibebaskan dengan dalih kekurangan alat bukti, bisa jadi vonisnya tidak jauh dari putusan penjahat sekelas preman jalanan. 
I.II PERMASALAHAN

Dari latar pemikiran sebagaimana diuraikan dalam pendahuluan maka pertanyaanya adalah “bagaimana cara keluar dari keterpurukan hukum di Indonesia ini”?

I.III PEMBAHASAN

Menurut Satjipto rahardjo, sejak hukum modern semakin bertumpu pada dimensi bentuk yang menjadikannya formal dan procedural, maka sejak itu pula muncul perbedaan antara keadilan formal atau keadilan menurut hukum disatu pihak dan keadilan sejati atau keadilan substansial di pihak lain. Dengan adanya dua macam dimensi keadilan tersebut, maka kita dapat melihat bahwa dalam praktiknya hukum itu ternyata dapat digunakan untuk menyimpangi keadilan subsatansial. Penggunaan hukum yang demikian itu tidak berarti melakukan pelanggaran hukum, melainkan semata-mata menunjukkan bahwa hukum itu dapat digunakan untuk tujuan lain selain mencapai keadilan. 
Dijelaskan oleh Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH., progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia dasarnya adalah baik, memiliki kasih saying serta kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting bagi membangun kehidupan berhukum dalam masyarakat. Namun apabila dramaturgi hukum menjadi buruk seperti selam ini terjadi di Negara kita, yang menjadi sasaran adalah para aparat penegak hukumnya, yakni polisi, jaksa, hakim dan advokat. Meskipun, apabila kita berfikir jernih dan berkesinambungan, tidak sepenuhnya mereka dipersalahkan dan didudukan sebagai satu-satunya terdakwa atas rusaknya wibawa hukum di Indonesia.
Memang sangat menyedihkan hati, ketika melihat kondisi hukum di Indonesia dengan segala bentuk praktisnya. Penggunaan hukum yang serba formal-prosedural dan teknikal , pada dasarnya telah banyak melupakan sisi kebenaran materiil, keadilan substansial dan kemanusiaan. Praktis-praktis hukum yang diterapkan dinegara kita, hingga kini belum mampu memberi garansi untuk mencapai harkat kemanusiaan yang berkeyakinan, kebenaran materiil dan keadilan substansial. Kepedulian terhadap hukum yang menjanjikan kebenaran, kemanusian dan keadilan menurut Satjito Raharjo, baru dapat dicapai jika kita mau keluar dari tawan-tawanan undang-undang yang serba formal procedural. Manakala menginginkan dan mempercayai hukum beserta praktiknya masih dapat dijadikan media pencerah bangsa, maka harus berani mencari agenda alternative yang sifatnya progresif.
Berfikir secara progresif, menurut Satjipto Raharjo berarti harus berani keluar dari mainstream pemikiran absolutisme hukum, kemudianmenempatkan hukum dalam posisi yang relative. Dalam hal ini, hukum harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusian. Bekerja berdasarkan pola pikir yang determinan hukum memang per;uj. Namun itu bukanlah suatu yang mutlak dilakukan manakala para ahli hukum berhadapan dengan suatu masalah yang jika menggunakan logika hukum modern akan menciderai posisi kemanusiaan dan kebenaran. Bekerja berdasarkan pola pikir hukum yang progresif (paradigma hukum progresif), barang tentu berbeda dengan paradigma hukum positivistis-praktis yang selama ini diajarkan di perguruan tinggi. Paradigma hukum progresif melihat faktor utama dalam hukum adalah manusua itu sendiri. Sebaliknya paradigma hukum peositivistis meyakini kebenaran hukum di atas manusia. Manusia boleh dimarjinalkan asal hukum tetap tegak. Sebaliknya paradigma hukum progresif berfikir bahwa justru hukum bolehlah dimarjinalkan untuk mencdukung eksistensialitas kemanusian, kebenaran dan keadilan. 
Agenda utama paradigma hukum progresif adalah menempatkan manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan tentang hukum. Penerimaan faktor manusia di pusat pembicaraan hukum tersebut membawa kita untuk mempedulikan faktor perilaku (behavior, experience) manusia. Dalam bahasa Oliver W. Holmes, logika peraturan disempurnakan dengan logika pengalaman. Jika dalam filosofi paradigma hukum praktis posisi manusia adalah untuk hukum dan logika hukum, sehingga manusia dipaksa untuk dimasukkan ke dalam hukum, maka sebaliknya filosofi dalam paradigma hukum progresif adalah hukum untuk manusia. Apabila faktor kemanusiaan yang ada didalammnyua termasuk juga kebenaran dan keadilan telah enjadi titik pembahasan hukum, maka faktor etika dan moralitas dengan sendirinya akan ikut tersert masuk ke dalamnya. Membicarakan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan tidak bisa dilepaskan dari membicarakan etika dan moralitas. Jadi, dengan tegas paradigma hukum progresif menolak pendapat yang memisahkan hukum dari faktor kemanusiaan dan moralitas. Disinilah letak pembebasan dan pencerahan yang dilakukan oleh paradigma hukum progresif.
Hukum progresif mengingatkan, bahwa dinamika hukum tidak kunjung berhenti, oleh karena hukum terus menerus berada pada status membangun diri, dengan demikian terjadinya perubahan social dengan didukung oleh social engineering by law yang terencana akan mewujudkan apa yang menjadi tujuan hukum progresif yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Untuk itu, perlu mendapatkan kehidupan hukum yang berada. Dalam hal ini, menurut Prof. Dr. Muladi, SH., dibutuhkan predisposisi sebagai berikut : 
1. menegakkan Rule of Law. Untuk menegakkan Rule of Law, ada empat hal yang harus dipenuhi yaitu : Government is under the law, adanya independence of yurisdiction, access to the counrt of law dan general acqual in certain application and same meaning .
2. Kedua; Democracy, prinsip-prinsip dasar demokrasi yaitu ; constitutional, chek and balance, freedom of media, judicial independence of precident, control to civil to military, protection to minoritary. 
Kedua hal ini, adalah menjadi bagian dari prinsip-prinsip dari hukum progresif, dimana hukum bukan sebagai raja, tetapi alat untuk menjabarkan kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia, hukum bukan sebagai tehnologi yang tak bernurani melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusian. Pembahsan hukum tidak menyumbat pintu bagi issue manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu masalah manudia dan kemanusiaan akan terus menyertai dan ikut mengalir mnemasuki hukum. Maka hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk mengabdi dan melestarikan manusia dengan segala perbincangan tentang kebenaran dan keadilan di dalamnya. 
Kontribusi terbesar dari paradigma hukum progresif adalah menjadikan para jurist untuk menjadi sososk manusia sebenar-benar manusia, bukan manusia sebagai robot/computer yang berisi software hukum. Jika demikian, apa bedanya dengan computer jika dalam praktiknya para jurist sekedar mengikuti perintah dan prosedur yang tercetak dalam undang-undang? Untuk apa bertahun-tahun susah payah dan sibuk mencetak ahli hukum kika kerjanya tidak lebih dari computer yang tinggal mencer-mencet? Jadi, paradigma hukum progresif akan mengarahkan jurist menjadi sosok yang arif-bijaksana dan memiliki wawasan komprehensif dalam mencapai kebenaran dan keadilan dalam setiap persoalan yang dihadapinya. Paradigma hukum progresif akan dapat menjinakkan kekakuan dan kebekuan undang-undang. Bukankah UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman kita, mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. 
1.Hukum Menurut asas Manusia                                           
Negara Hukum adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga lain dalam melaksanakan tindakan apa pun harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum (Mustafa Kamal Pasha, 2003)

Negara berdasar atas hukum menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi (supreme) sehingga ada istilah supremasi hukum. Supremasi hukum harus tidak boleh mengabaikan tiga ide dasar hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian (Achmad Ali,2002). Apabila Negara berdasar atas hukum, pemerintahan Negara itu juga harus berdasar atas suatu konstitusi atau undang-undang dasar sebagai landasan penyelenggaraan pemerintahan. Konstitusi dalam negara hukum adalah konstitusi yang bercirikan gagasan kostitusionalisme yaitu adanya pembatasan atas kekuasaan dan jaminan hak dasar warga negara. 
Berdasarkan berbagai definisi tentang hukum, bisa kita simpulkan bahwa Indonesia pun memiliki hukum. Namun bisa kita lihat sendiri bahwa kondisi hukum di Indonesia saat ini lebih banyak menuai kritikan daripada pujian. Kritikan-kritikan itu mengarah pada penegakkan hukum, kesadaran hukum, dan kualitas hukumnya. Hukum yang seharusnya bisa menjadi penegak keadilan bagi masyarakat masih belum bisa difungsikan sebagaimana mestinya. Banyak berbagai praktek negatif layaknya racun atau virus yang menyertai pelaksanaan hukum itu sendiri. Dampaknya, hukum di Indonesia terlihat lemah dan statusnya pun terancam.
Lebih dari pada itu, hukum yang dibuat sebagai jembatan pelaksanaan keadilan sudah tidak relevan lagi karena adanya berbagai penyimpangan dan diskriminatif di dalamnya. Penyimpangan dan diskriminatif peradilan ini menjadikan hukum seperti jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kuat dan kaya. Ketika orang biasa dan tidak mempunyai jabatan melakukan pelanggaran hukum, seperti Hamdani yang mencuri sandal jepit bolong milik perusahaan tempat ia bekerja, atau seorang nenek yang mencuri singkong karena kelaparan langsung ditangkap dan dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Sebaliknya, seorang pejabat negara yang melakukan korupsi masih bisa tetap bebas berkeliaran. Kasus-kasus hukum yang menimpa orang-orang berjabatan tinggi dan memiliki kekuasaan sebagai terdakwa atau tersangkanya seakan ditangani dengan berbelit-belit dan terkesan ditunda-tunda hingga akhirnya tidak ada keputusan yang jelas. Seperti itulah gambaran tentang kondisi penegakkan hukum di Indonesia.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pelaksanaan hukum yang seperti itu sama halnya dengan merobohkan tiang penyangga hukum dan pada akhirnya akan meruntuhkan bahkan menjatuhkan keadilan yang menjadi tujuannya. Apakah kita semua bisa merasakan dampak dari keruntuhan itu? Bisakah kita lihat di kehidupan nyata? Saya yakin bahwa semua masyarakat Indonesia pasti bisa merasakan juga melihat kenyataannya bahwa hukum di sini bukan lagi hukum namun seperti racun pembunuh bagi orang-orang yang tidak mempunyai penawarnya. Orang-orang yang lemah hanya bisa pasrah sementara orang-orang yang kuat tak pernah menyerah. Mereka semakin memperkuat diri justru dengan memanfaatkan hukum yang sudah bisa ‘dibeli’ dengan kekayaan mereka. Lantas hukum macam apa yang dimiliki Indonesia saat ini? Masih pantaskah hukum itu disebut hukum jika sudah tidak murni dan tidak bisa difungsikan sebagaimana mestinya?
Rapuhnya hukum di Indonesia saat ini menunjukan rapuhnya moral masyarakatnya. Jikalau masyarakat memiliki kesadaran hukum, maka tak mungkin norma-norma saat ini bergeser kepada rasa egoisme dan individual. Selain itu, nilai-nilai keadilan akan tetap terjaga dan bisa mencegah tindakan anarkis dan kekerasan yang banyak terjadi saat ini. Tentu setiap masalah bisa dengan mudah diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mufakat seperti yang terkandung dalam Pancasila. Lebih lanjut, penegakkan hukum pun bisa lebih terkendali dan berjalan sebagaimana mestinya.
Singkatnya, cara untuk menguatkan hukum di Indonesia yang semakin rapuh ini adalah menutrisi hukum dan semua komponen terkait dengan hal-hal positif yang bisa memulihkan serta membawanya ke jalan yang benar. Hal-hal itu bisa kita mulai dengan meningkatkan kesadaran hukum aparat serta masyarakat guna menegakkan hukum dan moral dengan baik. Disamping itu, penting juga untuk mengubah peraturan perundang-undangan yang saat ini masih lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa dibanding kepentingan rakyat. Meningkatkan kelancaran proses penegakkan hukum dengan menambah sarana dan prasarananya pun menjadi salah satu komponen yang penting.
Memang bukan hal yang mudah untuk memperbaiki hukum yang sudah terlanjur rusak kemudian mempertahan kekuatannya agar tidak kembali rapuh. Meskipun demikian, pasti selalu ada celah untuk meruntuhkan keburukan yang sedang menimpa hukum dan membangun kebaikan demi tegakknya hukum dan keadilan di Indonesia karena hukum bernilai bukan hanya karena itu hukum, melainkan karena ada kebaikan di dalamnya.

2. Negara Hukum Formil dan Negara Hukum Materiil

Negara hukum formil adalah Negara hukum dalam arti sempit yaitu negara yang warga negara. Urusan ekonomi diserahkan pada warga dengan dalil laissez faire, laissez aller yang berarti bila warga dibiarkan mengurus kepentingan ekonominya sendiri maka dengan sendirinya perekonomian negara akan sehat.

Materiil atau Negara hukum dalam arti luas. Dalam negara hukum materiil atau dapat disebut Negara hukum modern, pemerintah diberi tugas membangun kesejahteraan umum di berbagai lapangan kehidupan. Untuk itu pemerintah diberi kewenangan atau kemerdekaan untuk turut campur dalam urusan warga Negara. Pemerintah diberi Freies Ermessen yaitu kemerdekaan yang dimiliki pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan ekonomi social dan keleluasaan untuk tidak terikat pada produk legislasi parlemen.
Negara hukum materiil atau dapat disebut Welfare State adalah Negara yang pemerintahannya memiliki keleluasaan untuk turut campur tangan dalam urusan warga dengan dasar bahwa pemerintah ikut bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat. Negara bersifat aktif dan mandiri dalam upaya membangun kesejahteraan rakyat.

3. Ciri-ciri Negara Hukum

Fredrich Julius stahl dari kalangan ahli hukum eropa continental memberikan cirri-ciri rechtsstaat sebagai berikut.
1. Hak asasi manusia
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asai manusia yang biasa dikenal sebagai trias politika.
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan –peraturan.
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan
Adapun AV Dicey dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon member ciri-ciri Rule of law sebagai berikut :
1. Supremasi hukum ,dalam arti tidak boleh ada kesewenwng-wenangan,sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum
2. Kedudukan yang sama di depan hukum,baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat
3. Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan.
Prof.Sudargo Gautama mengemukakan ada 3(tiga) ciri atau unsur dari negara hukum, yakni sebagai berikut :
a. Terdapat pembatasan kekuasaan Negara terhadap perorangan, maksudnya Negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang . Tindakan Negara dibatasi oleh hukum, individual mempunyai hak terhadap Negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa.

b. Asas legalitas
Setiap tindakan Negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya.

c. Pemisahan kekuasaan
Agar hak-hak asasi itu betul-betul terlindungi , diadakan pemisahan kekuasaan yaitu badan yang membuat peraturan peundang-undangan, melaksanakan dan badan yang mengadili harus terpisah satu sama lain tidak berada dalam satu Negara.
Franz Magins Suseno (1997) mengemukakan adanya 5 (lima) cirri negara hukum sebagai salah satu cirri hakiki Negara demokrasi. Kelima cirri Negara hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fungsi kenegaraan dijalankan oleh lembaga yang bersangkutan sesuai dengan ketetapan sebuah undang-undang dasar.

2. Undang-undang dasar menjamin hak asasi manusia yang paling penting.Karena tanpa jaminan tersebut , hukum akan menjadi sarana penindasan. Jaminan hak asasi manusia memastikan bahwa pemerintah tidak dapat menyalahgunakan hukum untuk tindakan yang tidak adil atau tercela.

3. Badan-badan Negara menjalankan kekuasaan masing-masing selalu dan hanya taat pada dasar hukum yang berlaku.
4. Terhadap tindakan badan Negara, masyarakat dapat mengadu ke pengadilan dan putusan pengadilan dilaksanakan oleh badan Negara.
5. Badan kehakiman bebas dan tidak memihak.
Hukum Menurut Wawasan Nusantara
Sebelum lahirnya Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982) yang menetapkan lebar laut teritorial adalah 12 mil laut. Pada konvensi hukum laut I dan II yang dilangsungkan di Jenewa tidak mampu menyelesaikan masalah kesepakatan tentang luas laut teritorial dan hanya menetapkan lebar laut teritorial seluas 3 mul laut berdasarkan praktek kebiasaan waktu itu. Selain itu, penetapan batas wilayah menurut  “Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939” yang dimuat dalam Staatsblad 1939 No. 442 Pasal 1 (1) yang juga menetapkan lebar wilayah laut teritorial Indonesia adalah 3 mil, dalam konteks negara kepulauan (archipelagic state) seperti Indonesia, hal ini jelas sangat merugikan.
Mengingat adanya kelemahan atas hukum yang mengatur mengenai wilayah laut (perairan) di Wilayah Negara Republik Indonesia yang masih merupakan warisan kolonial Belanda dahulu, dengan tolak ukur jarak tiga mil laut dari pantai itu, ternyata ada juga negara-negara lain yang menyimpanginya. .Negara-negara itu yaitu negara-negara Skandinavia sejauh empat mil, dan Spanyol dengan jarak enam mil dari pantai. Karena itu, wajarlah apabila pemerintah RI mempunyai gagasan baru untuk merombak total (masalah lebar laut) dan kemudian mengembangkan ke aspek-aspek selanjutnya.
Perombakan yang dimaksudkan di atas untuk pertama kali dilaksanakan oleh pemerintah RI dengan mengeluarkan pengumuman pada
tanggal 13 Desember 1957 yang disebut Deklarasi 13 Desember 1957, atau dikemudian hari dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda karena pada saat itu Indonesia masih memakai konstitusi RIS 1949 dengan Perdana Menteri-nya Ir, Djuanda.
Adapun pertimbangan-pertimbangan yang mendorong pemerintah RI sebagai suatu negara kepulauan sehingga mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah perairan Indonesia, adalah:
a. Bahwa bentuk geografis Indonesia yang berwujud negara kepulauan, yang terdiri atas tiga belas ribu lebih pulau-pulau, besar dan kecil yang tersebar dilautan.
b. Demi untuk kesatuan wilayah negara RI, agar semua kepulauan dan perairan (selat) yang ada diantaranya merupakan satu kesatuan yang utuh, dan tidak dapat dipisahkan antara pulau yang satu dengan lainnya, atau antara pulau dengan perairannya.
c. Bahwa penetapan batas perairan wilayah sebagaimana menurut “Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939” yang dimuat dalam Staatsblad 1939 No. 442 Pasal 1 (1) sudah tidak sesuai lagi dengan kepentingan Indonesia setelah merdeka.
d. Bahwa Indonesia setelah berdaulat sebgai suatu negara yang merdeka, mempunyai hak sepenuhnya dan berkewajiban untuk mengatur segala sesuatunya, demi untuk keamanan dan keselamatan negara serta bangsanya.
Deklarasi Djuanda 1957 merupakan titik pangkal lahirnya klaim Wawasan Nusantara, yang merupakan konsepsi kewilayahan. Dalam masalah pengumuman pemerintah RI tentang konsep Wilayah Perairan, pemerintah RI bukan satu-satunya negara yang melakukan klaim atas wilayah pantainya. Sebab sebelumnya, Presiden AS, S. Truman, pada tanggal 25 Desember 1945 mengumumkan dua pernyataan, yaitu:
1. Proklamasi tentang landas kontinen
2. Proklamasi tentang perikanan.
Istilah Wawasan Nusantara sebenarnya baru dikenal pada seminar pertahanan keamanan tahun 1966. Pada waktu itu Wawasan Nusantara dipergunakan untuk mengembangkan kekuatan pertahanan dan keamanan yang terpadu, untuk menggantikan tiga wawasan yang pernah ada, dan sifatnya sektoral, yatiu:
a. Wawasan Benua, yang diprakarsai oleh AD.
b. Wawasan Bahari yang diprakarsai oleh AL.
c. Wawasan Dirgantara yang diprakarsai oleh AU
Ketiga wawasan tersebut di atas masing-masing sebagai perwujudan konsep kekuatan (power concept) sehingga menimbulkan adu kekuatan, yang dapat mengakibatkan gejolak atau ketegangan dalam  kehidupan politik bagsa dan negara, atau kemungkinan dapat menimbulkan terjadinya instabilitas nasional dalam kehidupan masyarakat negara. Lain halnya dengan Wawasan Nusantara yang dikembangkan menjadi kebudayaan politik (political culture) dan merupakan milik bangsa dan negara RI. Dua tahun setelah keluarnya Deklarasi Djuanda 1957, pada tanggal 18  Februari 1960 dikuatkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia (LN. 1960. No. 22) dengan maksud agar klaim tersebut memiliki kekuatan hukum dan mengikat.
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966, Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang tersebut diatas, dikukuhkan
(dituangkan) menjadi undang-undang No. 4 Prp. Tahun 1960. Adapun isi pokok UU No. 4. Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia adalah:
1. Perairan Indonesia ialah Laut Wilayah beserta perairan Pedalaman Indonesia (Perairan Nusantara).
2. Laut Wilayah Indonesia ialah jalur laut selebar dua belas mil laut dari pulaupulau yang terluar atau bagian pulau-pulau yang terluar dengan dihubungkan garis lurus antara satu dengan lainnya.
3. Apabila ada selat yang lebarnya tidak melebihi dua puluh empat mil laut, dan negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi (artinya ada negara tetangga), maka garis batas Laut Wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.
4. Perairan Pedalaman Indonesia (Perairan Nusantara) adalah semau perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis besar.
5. Hak Lintas Damai kendaraan air (kapal) asing, diakui dan dijaman sepanjang tidak mengganggu atau bertentangang dengan keamanan serta keselamatan negara dan bangsa.
6. Tidak berlakunya lagi pasal 1 ayat (1) angka 1 sampai dengan 4 ‘Territoriale Zee Maritieme Kringen Ordonantie” 1939.
Implikasi posistif klaim wawasan nusantara yang tercantum dalam UU No. 4/ Prp 1960 adalah :
1. Wilayah Indonesia berdasarkan TZMKO 1939 luasnya hanya: 2.027.087  km2; setelah berlakunya UU No. 4/Prp. 1960 tersebut, luas wilayah Indonesia menjadi: 5.193.250. km2 (daratan dan lautan); berarti luas wilayah bertambah 3.166.163 km2 (Perairan) atau lebih kurang: 145%. Meskipun pertambahan wilayah tersebut berwujud perairan, tetapi banyak mengandung sumber daya alam.
2. Realisasi makna ketentuan yang tercantum didalam alinea IV pembukaan  UUD 1945, Juga Pasal 1 (1) UUD 1945 dapat dilaksana.
Dalam usaha mewujudkan konsep wawasan nusantara ini, pemerintah RI telah dua kali meng-gol-kan klaim wawasan nusantara itu di forum internasional, yaitu dalam konferensi hukum laut Internasional pada tahun 1958 dan tahun 1960; tetapi belum mendapatkan hasil sebagaimana diharapkan. Dengan telah dijadikannya Deklarasi Djuanda 1957 kedalam bentuk undang-undang, yang berarti mempunyai kekuatan hukum dan mengikat. Dalam hal ini, ada dua macam jalur jalur yang ditempuh pemerintah RI dalam memperjuangkan konsep wawasan nusantara. Kedua macam jalur tersebut adalah:
a) Jalur internasional; yaitu seperti yang sudah dilakukan, dengan jalan memperjuangkan dalam pembicaraan-pembicaraan di forum internasional, konferensi hukum laut,dan forum-forum internasional lainnya.
b) Jalur nasional; yaitu dengan langsung mengadakan perundingan baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara-negara tetangga yang berkepentingan.
Diantara dua macam jalur cara memperjuangkan klaim wawasan nusantara tersebut, ternyata dalam jangka waktu pendek lebih terlihat hasilnya meskipun terbatas hanya negara-negara yang berkepentingan saja adalah yang melalui jalur nasional. Hal ini terbukti dengan adanya perundinganperundingan antar negara yang menghasilkan perjanjian (treaty) atau persetujuan (agreement), mengenai perbatasan laut wilayahnya dengan wilayah RI. Perjanjian dan persetujuan yang dimaksudkan antara lain, termuat dalam:
1. UU No. 22 tahun 1971 (LN. 1971 No. 16) tentang Perjanjian antara RI dan Malaysia tentang Penetapan Garis Batas Laut kedua negara di selat Malaka.
2. Keputusan Presiden No. 66 Tahun 1972 (LN. 1972 No. 45) tentang Penetapan Batas Laut Antara RI – Australia di Laut Timor dan Laut Arafuru.
3. UU No. 6 Tahun 1973 (LN. 1973 No. 58), tentang Perjanjian Antara Indonesia dengan Australia Mengenai Garis-garis Batas Tertentu Antara Indonesia dengan PNG.
4. UU No. 7 tahun 1973 (LN. 1973 No. 59) tentang Perjanjian Antara Indonesia dengan Singapura Mengenai Penetapan Garis Batas Laut Wilayah kedua negara di Selat Singapura.
5. Keppres No 24 Tahun 1978 (LN. 1978 No 37) Mengesahkan Persetujuan Antara Pemerintah RI, Pemerintah Republik India dan Pemerintah Kerajaan Thailand, Tentang Penetapan Titik Pertemuan Tiga Garis Batas dan Penetapan Garis Batas Ketiga Negara di Laut Andaman.
6. Keppres No. 6 Tahun 1980 (LN. 1980 No. 3) tentang Pengesahan Persetujuan Dasar Antara RI dan PNG tentang Pengaturan-Pengaturan Perbatasan Kedua Negara.

Hukum Ketahan Nasional
 Di dalam UUD 1945 disebutkan  bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung beserta badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Teori hukum memberikan tuntunan  analisis bahwa struktur  penegakan hukum mengandung unsur prosedural yang memberi arah pada mekanisme penegakan hukum dan keadilan, dan substansi penegakan hukum dan keadilan yang memberi arah bagi  kepastian hukum dan keadilan. Dengan perkataan lain bahwa  mekanisme tersebut harus mampu memberikan keadilan prosedural  dan dengan demikian kepastian hukum akan memberikan keadilan substantif.
           Adalah menjadi pertanyaan  apakah keadilan prosedural dan keadilan substantif mempunyai kaitan dengan penegakan supremasi hukum. Kedua  jenis keadilan itu dengan supremasi hukum tanpaknya perlu dipersandingkan  agar memberikan gambaran konkrit mengenai posisi penegakan supremasi hukum bagi  ketahanan nasional.  Pada dasarnya  supremasi hukum itu berintikan keadilan hukum.  Sebelum lebih jauh menguraikan keadilan hukum, perlu sebelumnya  menguraikan  jalan dimana keadilan hukum itu harus berpijak sehingga keadilan hukum yang mana dan yang bagaimana yang dibutuhkan bagi Indonesia.
           Di dalam sejarah konstitusi Indonesia  dikenal prinsip bahwa  Negara  Indonesia ialahrechtsstaat yang diidentikkan dengan konsep negara hukum dalam sistem konstitusi continental europe, yang memberikan tekanan khusus pada kepastian hukum, persamaan, demokrasi dan pemerintahan yang melayani kepentingan umum. Banyak juga yang berpendapat bahwa rechtsstaatdiinterpretasikan dengan cenderung seperti yang dimaksudkan oleh  konsep rule of law yang dikembangkan di dalam sistem konstitusi negara Anglo Saxon yang memberikan perhatian utama pada  supremasi hukum, equality before the law , dan konstitusi yang diorientasikan pada hak-hak perseorangan. Sekalipun pandangan individualistik mendominasi kedua  sistem tersebut, namun terdapat perbedaan yang menonjol.  Diberinya peran peradilan administrasi negara sebagai ciri yang menonjol di dalam konsep rechtsstaat karena kurangnya kepercayaan masyarakat pada peradilan umum dan terutama perbuatan melanggar hukum yang dilakukan pemerintah.  Sementara itu di dalam sistem  rule of law  tidak diberi peran sedikit pun kepada peran peradilan administrasi negara sebagai ciri utama prinsip rule of law dan dengan demikian memang menaruh kepercayaan besar kepada peradilan umum untuk semua permasalahan hukum, termasuk perbuatan melanggar hukum dari pemerintah.
           Dapat dilihat bahwa kesamaan penting di dalam kedua konsep tersebut di atas adalah kecenderungan pemikiran  individualistik, yang pada gilirannya dipengaruhi oleh pemikiran liberalistik yang berujung pada ditegakkannya keadilan individual dimana hak subyektif yang menjadi ukuran lahirnya keadilan hukum di dalam setiap pengaturan mengenai hukum obyektif. Dibandingkan dengan  Indonesia yang di dalam UUD 1945 menganut rechtsstaat yang diidentikkan dengan negara hukum      sudah barang tentu tidak ada kecenderungan pada pemikiran individualistik. Dengan ditempatkannya Pancasila  pada pucuk piramid sistem hukum nasional sebagai sumber dari segala sumber hukum, maka pemikiran individualistik apalagi yang liberalistik tidak mendominasi peri kehidupan bangsa dan negara. Pancasila mengandung ragam rechts idea  atau cita hukum yang tidak hanya individualistik akan tetapi sebaliknya  mengandung idea Ketuhanan Yang Maha Esa, persatuan dalam kontek pluralistik dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Kerakyatan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan cita hukum yang menyangkut keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Karena itu sistem hukum nasional dalam konsep negara hukum Indonesia tidak seperti yang dimaksud dalam sistem rechtsstaat  dari  continental europe dan bukan pula seperti yang dimaksud konsep rule of law dari negara Anglo Sexon, akan tetapi konsep negara hukum Pancasila. Dari sana lah rujukan untuk memberi warna yuridis pada keadilan hukum dalam penegakan supremasi hukum.
Bagaimana strategi penegakan supremasi hukum yang berintikan keadilan hukum dalam konsep negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Penegakan supremasi hukum bukanlah dominasi pelaku kekuasaan kehakiman. Akan tetapi justru harus dilakukan oleh seluruh komponen negara. Dalam studi ilmu negara di sana dipelajari mengenai asal mula negara dan juga menyinggung komponen negara.  Dalam studi ilmu hukum tata negara di sana dipelajari juga mengenai konstitusi dan konstruksi negara di dalam konstitusi itu. Secara umum dapat dilihat bahwa tatkala  kata negara,disebut, maka ketika itu dipahami bahwa komponen pokok dari suatu negara adalah wilayah kedaulatan negara, pemerintahan negara, dan rakyat negara.
Di dalam tiga komponen pokok negara tersebut harus dilakukan penegakan supremasi hukum. Secara khusus di dalam pemerintahan negara, terdapat tiga kekuasaan negara, yaitu kesatu, kekuasaan legislatif yang implementasinya di Indonesia diwujudkan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), kedua, kekuasaan eksekutif, yang di dalamnya terdapat lembaga kepresidenan yaitu presiden dan wakil presiden, berserta para pembantunya dalam tataran penyelenggaraan pemerintah negara, yang secara organisatoris diimplementasikan dalam bentuk kementerian negara dan non kementerian. Ketiga adalah kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung beserta badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara, serta sebuah mahkamah konstitusi.
           Uraian di atas menunjukkan bahwa  penegakan supremasi hukum pada tataran pelaksanaan hukum dilakukan oleh seluruh kekuasaan negara yang terbagi itu. Penegakan  supremasi hukum dalam tataran kekuasaan eksekutif harus mengambil strategi yuridis berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam lingkaran legal policy nya. Hal itu dilakukan untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya  abuse of power dan perbuatan melanggar hukum atau perbuatan melawan hukum.  Legal policy sebagai kerangka strategis bagi kekuasaan eksekutif adalah pola kinerja yang konstitusional dan yuridis yang legistik, dan sejauh mungkin perlu dihindari kedekatannya dengan  kinerja yang serba legalistik, yang pada gilirannya akan keluar dari legal policy sehingga yang ada hanyalah policy yang rentan dengan kemungkinan dapat menyerempet proses kriminalisasi .

          Kekuasaan kehakiman melakukan penegakan supremasi hukum melalui proses hukum pada tiap lingkungan dalam jenjang peradilan. Tata peradilan dengan segala kompleksitasnya  berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi  dalam bidang pembinaan tehnis peradilan, administrasi, organisasi dan finansial peradilan terhadap semua pengadilan negara dalam lingkungan peradilan yang ada di bawahnya.
 Langkah strategis yang dilakukan oleh Mahkamah Agung beserta badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara,  tidak lain dari pada yang telah digariskan secara konstitusional, dan ketentuan undang-undang terutama mengenai segi keadilan prosedural. Selain dari yang demikian  dilakukan berbagai prinsip kerja yudikatif secara konseptual  dalam kerangka pelaksanaan kekuasaan kehakiman sebagai upaya untuk menegakkan keadilan substantif.
 Untuk menjamin dan mendukung terjaminnya  penegakan supremasi hukum pada tiap jenjang pengadilan,  telah menyiapkan Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung Republik Indonesia  dan berimplikasi langsung pada pembinaan peradilan dalam berbagai aspek tehnis hukum dan peradilan, administrasi dan organisasi peradilan serta sistem keuangan peradilan termasuk biaya perkara sebagai penerimaan negara bukan pajak.
 Menyangkut pembinaan tehnis hukum, dikembangkan terus secara berkelanjutan pemahaman mengenai hubungan kepastian hukum dan keadilan. Bahwa keadilan tidak muncul sedemikian rupa tanpa melalui kepastian hukum dan sebaliknya hanya kepastian hukum saja tindak mungkin melahirkan keadilan. Keadilan prosedural dan keadilan substantif harus berjalan seiring dengan garis kepastian hukum, karena kedua jenis keadilan itu tidak mungkin dapat diberikan kepada masyarakat tanpa berpegang teguh pada kepastian hukum. Kewenangan dalam menjalankan fungsi penegakan hukum secara institusional yang berkait dengan pelaksanaan kekuasaan kehakiman harus berjalan di atas rel hukum yang legistik dan karena itu harus dhindari kemungkinan bergeser ke rel hukum yang legalistik karena rel ini berada dalam kekuasaan kehakiman. Dari yang  tergambar di atas betapa pelaksanaan fungsi penegakan hukum itu demi kepastian hukum harus terhindar dari berbagai intervensi eksternal apalagi intervensi politik.
Di dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman, secara legistik diatur bahwa hakim yang berada pada tiap jenjang pengadilan adalah pejabat negara pelaksana kekuasaan kehakiman. Hakim harus memiliki pemahaman yang kuat dan konprehensif mengenai hubungan timbal balik kepastian hukum dengan keadilan sehingga mendapat arah yang tepat dan benar dalam menerapkan hukum. Selain dari pada itu hakim dituntut untuk memiliki ketrampilan dalam memahami dan menafsir hukum sesuai dengan kewenangan yang diberikan hukum sehingga pada gilirannya ia dapat menciptakan hukum  ketika berhadapan dengan kompleksitas permasalahan hukum  dalam proses peradilan sejalan dengan perkembangan kehidupan sosial  kemasyarakatan. Hal itu berkaitan dengan berbagai jenis keadilan yang ditegakkan  melalui kepastian hukum dalam proses peradilan seperti: (1) keadilan distributif yang menekankan proporsionalitas, sementara (2) keadilan kumutatif yang menekankan pada persamaan antara prestasi dan kontraprestasi, (3) keadilan vindikatif yang menjatuhkan hukuman atas ganti kerugian dalam tindak pidana, (4) keadilan korektif yang berorientasi pada pembetulan yang berusaha memberikan kompensasi atas kerugian yang proporsional  akibat dari suatu tindak pidana, Kemudian (5) keadilan retributif  yang menekankan pada hukuman yang proporsional dengan besar kecilnya tindak pidana yang dilakukan seperti kejahatan kecil dipidana ringan dan kejahatan besar dipidana berat dimana pola itu tidak saja berlaku di dalam lingkungan kekuasaan kehakiman tetapi juga dapat diterapkan dalam lingkungan kekuasaan  lain.
 Penegakan supremasi hukum dalam proses peradilan  sesuai dengan perkembangan hukum dan peradilan, restorative justice atau keadilan restoratif telah menjadi pilihan. Keadilan restoratif memusatkan perhatiannya pada kejahatan yang menentang individu dan masyarakat dari pada negara. Korban memegang peran penting dan dapat menerima restitusi dari pelaku pelanggaran atau kejahatan.Dalam keadilan ini, pelaku kejahatan dan pelanggaran  diwajibkan memberikan ganti kerugian kepada korban secara proporsional. Untuk mewujudkan keadilan restoratif,  dalam bidang pidana dapat dilakukan mediasi pidana baik dalam proses litigasi maupun non litigasi.  Untuk jenis non litigasi, secara legistik telah dilakukan melalui ketentuan undang-undang seperti yang diatur di dalam Undang-undang   yang mengatur mengenai otonomi khusus Papua, penyelesaian sengketa  secara adat di daerah-daerah  yang pernah terjadi persengketaan etnis, agama atau lainnya.
Di dalam  sengketa perdata, mediasi perdata sebagai bentuk  keadilan restoratif  telah  mampu menyelesaikan sengketa perdata tanpa litigasi dalam waktu yang cepat dan biaya ringan. Dengan demikian bahwa  prinsip penyelenggaraan peradilan  dengan sederhana, cepat dan biaya ringan di dalam sistem petadilan Indonesia adalah merupakan juga implementasi  dari keadilan restoratif. Dengan demikian terlihat bahwa  local wisdom  atau kearifan lokal menjadi bentuk hukum yang legalistik yang diterapkan melaui  keadilan restoratif sehingga bukan saja memberikan keadilan  hukum atau  legal justice tetapi juga sekaligus memberikan social justice dan kepuasan yuridis maupun kepuasan sosial.

4.Implementasi Politik dan Strategi Nasional di Berbagai Bidang
Implementasi politik dan strategi nasional di bidang hukum:

1.                   Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum.
2.                   Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang–undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaianya dengan reformasi melalui program legalisasi.
3.                   Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah dan terbuka, serta bebas korupsi dan nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan kebenaran.
4.                   Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan perlindungan. Penghormatan dan penegakan hak asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan.
5.                   Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas.





Implemetasi politk strategi nasional dibidang ekonomi :

1.                   Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai–nilai keadilan, kepentingan sosial, kualitas hidup, pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sehingga terjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja, perlindungan hak–hak konsumen, serta perlakuan yang adil bagi seluruh rakyat.
2.                   Mengembangkan persaingan yang sehat dan adil serta menghindarkan terjadinya struktur pasar monopolistik dan berbagai struktur pasar distortif, yang merugikan masyarakat.
3.                   Mengoptimalkan peranan pemerintah dalam mengoreksi ketidaksempurnaan pasar dengan menghilangkan seluruh hambatan yang menganggu mekanisme pasar, melalui regulasi, layanan publik, subsidi dan insentif, yang dilakukan secara transparan dan diatur undang–undang.
4.                   Mengupayakan kehidupan yang layak berdasarkan atas kemanusiaan yang adil bagi masayarakat, terutama bagi fakir miskin dan anak–anak terlantar dengan mengembangkan sistem dan jaminan sosial melalui program pemerintah serta menumbuhkembangkan usaha dan kreativitas masyarakat yang pendistribusiannya dilakukan dengan birokrasi efektif dan efisien serta ditetapkan dengan undang–undang.
5.                   Mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai kemajuan teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan komperatif sebagai negara maritim dan agraris sesuai kompetensi dan produk unggulan di setiap daerah, terutama pertanian dalam arti luas, kehutanan, kelautan, pertambangan, pariwisata, serta industri kecil dan kerajinan rakyat.
6.                   Mengelola kebijakan makro dan mikro ekonomi secara terkoordinasi dan sinergis guna menentukan tingkat suku bunga wajar, tingkat inflasi terkendali, tingkat kurs rupiah yang stabil dan realitis, menyediakan kebutuhan pokok terutama perumahan dan pangan rakyat, menyediakan fasilitas publik yang memadai dan harga terjangkau, serta memperlancar perizinan yang transparan, mudah, murah, dan cepat.


Implementasi politik strategi nasional di bidang politik :

1.                   Memperkuat keberadaan dan kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertumpu pada kebhinekatunggalikaan. Untuk menyelesaikan masalah–masalah yang mendesak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, perlu upaya rekonsiliasi nasional yang diatur dengan undang–undang.
2.                   Menyempurnakan Undang–Undang Dasar 1945 sejalan dengan perkembangan kebutuhan bangsa, dinamika dan tuntutan reformasi, dengan tetap memelihara kesatuan dan persatuan bengsa, serta sesuai dengan jiwa dan semangat Pembukaan Undang–Undang Dasar 1945.
3.                   Meningkatkan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan lembaga–lembaga tinggi negara lainnya dengan menegaskan fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan dan tata hubungan yang jelas antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
4.                   Mengembangkan sistem politik nasional yang berkedudukan rakyat demokratis dan terbuka, mengembangkan kehidupan kepartaian yang menghormati keberagaman aspirasi politik, serta mengembangkan sistem dan penyelengaraan pemilu yang demokratis dengan menyempurnakan berbagai peraturan perundang–undangan dibidang politik.

Secara umum Pembangunan Daerah adalah sebagai berikut :

·                     Mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh masayrakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
·                     Melakukan pengkajian tentang berlakunya otonomi daerah bagi daerah propinsi, daerah kabupaten, daerah kota dan desa.
·                     Mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kuat dengan memberdayakan pelaku dan potensi ekonomi daerah serta memperhatikan penataan ruang, baik fisik maupun sosial sehingga terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pelaksanaan ekonomi daerah.
·                     Mempercepat pembangunan pedesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat terutama petani dan nelayan melalui penyediaan prasarana, pembangunan sistem agribisnis, indutri kecil dan kerajinan rakyat, pengembangan kelembagaan penguasaan teknologi, dan pemanfaatan sumber daya alam.
·                     Mewujudkan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah secara adil dengan mengutamakan kepentingan daerah yang lebih luas melalui desentralisasi perizinan dan investasi serta pengelolaan sumber daya.
·                     Memberdayakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka melaksanakan fungsi dan perannya guna memantapkan penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup :

·                     Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi.
·                     Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi, dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan.
·                     Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga, yang diatur dengan undang–undang.
·                     Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar–besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang–undang.
·                     Menerapkan indikator–indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan pembaharuan dalam pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat balik.


Implementasi di bidang pertahanan dan keamanan :

·                     Menata Tentara Nasional Indonesia sesuai paradigma baru secara konsisten melalui reposisi, redefinisi, dan reaktualisasi peran Tentara Nasional Indonesia sebagai alat negara untuk melindungi, memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap ancaman dari luar dan dalam negeri, dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan memberikan darma baktinya dalam membantu menyelenggarakan pembangunan.
·                     Mengembangkan kemampuan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta yang bertumpu pada kekuatan rakyat dengan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Repuiblik Indonesia sebagai kekuatan utama didukung komponen lainnya dari kekuatan pertahanan dan keamanan negara dengan meningkatkan kesadaran bela negara melalui wajib latih dan membangun kondisi juang, serta mewujudkan kebersamaan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan rakyat.
·                     Meningkatkan kualitas keprofesionalan Tentara Nasional Indonesia, meningkatkan rasio kekuatan komponen utama serta mengembangkan kekuatan pertahanan keamanan negara ke wilayah yang di dukung dengan sarana, prasarana, dan anggaran yang memadai.


















Refrensi      :

Buku Pintar Penataran P4, Tanpa Tahun, Departemen Kehakiman Repbulik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar